Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (
Kemendikbud) menilai masalah
intoleransi dan
radikalisme di lingkungan pendidikan di Indonesia bukan disebabkan oleh sistem pendidikan.
Belakangan ini sejumlah konten sarat intoleransi dan radikalisme ditemukan di lingkungan sekolah. Terbaru, terdapat dalam konten Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN).
Menanggapi hal tersebut, Mendikbud Muhadjir Effendy menilai jumlah temuan peristiwa yang terkait radikalisme dan intoleransi itu tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan total 53 juta siswa yang ada di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Satuan pendidikannya ada di atas 200 ribu, memang ini urusan besar, bukan kecil. Sehingga kalau ada kasus, satu, dua, mohon dipahami itu suatu hal yang kasuistis dan penyelesaiannya harus per kasus. Bukan karena satu persoalan sistemik," ujar Muhadjir setelah menghadiri perayaan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Kamis (2/5).
Meski begitu, ia tetap mengakui persoalan tersebut masih ada dan belum selesai di sejumlah satuan pendidikan. Ia menambahkan Kemendikbud bersama Kementerian Agama berusaha mengurangi persoalan tersebut di sekolah-sekolah dan madrasah.
Lebih lanjut, Muhadjir mengatakan pihaknya terus berupaya meningkatkan langkah pencegahan. Namun, kata dia, upaya tersebut tidak bisa terlaksana jika hanya bergantung pada Kemendikbud.
"Tapi juga peran masyarakat keseluruhan dan selalu saling memantau, memberi informasi sehingga ketika ada gejala langsung bisa diatasi," ujarnya.
Sementara itu secara terpisah Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyampaikan pada perayaan Hardiknas kali ini, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah untuk menyelesaikan sejumlah persoalan. Salah satunya sikap intoleransi dan paham radikalisme di lingkungan sekolah.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menerangkan berdasarkan hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) pada 2018 terhadap 2.237 guru Muslim di 34 provinsi menunjukkan 6 dari 10 guru memiliki opini intoleransi terhadap pemeluk agama lain.
"Survei itu juga menilik tendensi radikalisme, dan mendapati bahwa hampir setengah guru Muslim memiliki opini radikal," kata Ubaid melalui keterangan tertulisnya, Kamis (2/5).
Ia juga menyayangkan langkah pemerintah yang tidak segera menindak salah satu penyebaran sikap intoleran yang salah satunya terjadi dalam konten UASBN.
"Sayangnya, pihak pemerintah tidak menelusuri kasus ini dan menguak jaringan yang melingkupinya. Lagi-lagi, pemerintah cenderung membiarkan kasus-kasus intoleransi semacam ini, seperti tahun-tahun sebelumnya," ujarnya.
[Gambas:Video CNN] (ani/pmg)