Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai partai politik atau fraksi yang duduk di DPR RI harus ikut bertanggung jawab atas petaka Pemilu 2019 kali ini.
Menurutnya, keributan antarfraksi di Parlemen Senayan saat merevisi Undang-undang Pemilu pada 2016 hingga 2017 silam menjadi salah satu penyebab lahirnya petaka Pemilu 2019.
Pasalnya, kata Adi, keributan itu tidak menyentuh masalah teknis yang berpotensi menjadi masalah besar dari penyelenggaraan pemilu secara serentak, seperti waktu penghitungan suara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan penelusuran
CNNIndonesia.com, tidak ada fraksi di DPR periode 2014-2019 yang menolak model penyelenggaraan pemilu secara serentak antara pemilihan anggota legislatif dan presiden.
Perdebatan sengit sempat terjadi ketika anggota dewan membahas ambang batas presiden. Bahkan, sebanyak empat fraksi melakukan aksi walk out saat proses Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang yakni Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS.
Perwakilan partai sibuk mempersoalkan ambang batas presiden sebesar 20 persen yang dituangkan dalam UU Pemilu. Namun tidak ada kader partai di parlemen yang mendebat soal model penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
“Fraksi di DPR waktu itu tidak ada yang membahas masalah ini, mereka tidak memikirkan implikasi keserentakan ini, hanya tahunya masalah ambang batas parlemen, ambang batas presiden, district magnitude, lalu metode konvesi suara,” kata Adi.
Dia menyatakan fraksi di DPR seharusnya membahas masalah waktu penghitungan yang panjang dan alot dalam model penyelenggaraan pemilu secara serentak ketika melahirkan revisi UU Pemilu yang akhirnya teregistrasi dalam Nomor 7 Tahun 2017.
Menurut Adi, pembahasan itu penting untuk selanjutnya dituangkan dalam petunjuk teknis KPU.
Salah satu anggota KPPS, Wahyu Army, menjalani perawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Singkil, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (23/4). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah) |
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Diponegoro, M. Yulianto, menyatakan negara dalam hal ini pemerintah juga harus bertanggung jawab terkait tragedi ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia pascapenyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurutnya, jumlah petugas KPPS yang meninggal hingga 412 seperti saat ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah penyelenggaraan pemilu Indonesia.
Dia menuturkan salah satu faktor penyebab terjadinya tragedi ini adalah terlalu fokusnya perhatian KPU pada waktu pemungutan suara saat melakukan simulasi penyelenggaraan Pemilu 2019, sehingga lupa menyoroti masalah kesiapan fisik petugas KPPS.
“Beberapa waktu lalu tidak ada simulasi yang menyoroti tentang kesiapan fisik, tidak diperhatikan rumitnya pencoblosan, simulasi tidak lengkap dan detail,” kata Yulianto.
Ia pun meminta pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait penyelenggaran Pemilu 2019.
Yulianto berkata, waktu penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara harus menjadi fokus utama dalam evaluasi.
“Masukan unsur kesiapan, menyingkat waktu penyelenggaraan. Lalu sistem penghitungan bagaimana, apa harus dilaksanakan pada hari itu juga atau tidak,” ucapnya.
Petugas KPPS mendatangi warga yang sakit ke rumah saat pencoblosan Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S.) |
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar juga mengkritik simulasi penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dinilai mengabaikan persoalan waktu pengitungan suara.
Menurutnya, masalah waktu penghitungan suara ini pernah disampaikan oleh salah seorang saksi yang hadir di dalam simulasi kala itu.
“Beberapa saksi yang hadir dalam simulasi dulu pernah mengatakan [penghitungan suara] tidak selesai sampai jam 12 malam, artinya masalah sudah diprediksi,” ujar dia.
Menurutnya, kewajiban untuk menyelesaikan penghitungan lima lembar surat suara menjadi akar masalah di Pemilu 2019 yang berlangsung secara serentak ini.
Dia berpendapat, penyelenggara seharusnya menetapkan surat suara yang penghitungannya diprioritasikan dan surat suara yang proses penghitungannya dapat dilanjutkan keesokan harinya.
“Sistem penghitungan seharusnya tidak mengharuskan selesai pada hari yang sama. Mekanismenya ketika waktu pemungutan suara ditutup, pilih satu saja dulu yang pengitungannya diselesaikan, lalu yang lainnya diselesaikan besok penghitungannya,” ujar Idil.
Hingga kini, KPU masih melakukan rekapitulasi hasil pemilu hingga 22 Mei mendatang. KPU tetap optimistis proses ini bisa selesai tepat waktu.
(pmg)