Jakarta, CNN Indonesia -- Bibir Tri Widatani mendadak kaku, mulutnya sulit berkata-kata. Matanya berkaca-kaca. Berulang kali Tri mengarahkan pandangan ke atas sambil menghela nafas. Dia tak ingin air matanya tumpah.
Suasana duka masih menyelimuti wajah Tri dengan jelas. Senyum di wajahnya hanya terlihat sesekali, itu pun ketika ia menengok ke arah putri semata wayangnya yang duduk di sebelah.
Dua pekan lebih Tri ditinggal suaminya, Hanafi, yang pergi menghadap Tuhan Yang Maha Esa pada 18 April lalu. Baginya, kejadian itu sangat mengagetkan karena Hanafi tidak memiliki rekam jejak penyakit yang serius.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hanafi meninggal dunia sehari setelah menjalani tugas bersama Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di lingkungan tempat tinggalnya.
Ia adalah salah satu dari ratusan petugas KPPS yang menjadi korban meninggal dunia Pemilu 2019, gelaran pemilu pertama kali yang diadakan secara serentak di Indonesia baik pemilihan legislatif maupun pemilihan presiden dan wakilnya.
Hari ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah petugas KPPS yang tewas sebanyak 412 orang.
Tri menduga kepadatan aktivitas sebelum hingga setelah pemungutan suara Pemilu 2019, serta tak ada makanan yang dikonsumsi saat bertugas, menjadi penyebab Hanafi meninggal dunia.
Tri menuturkan Hanafi sibuk dengan berbagai kegiatan terkait penyelenggaraan Pemilu 2019 sejak Minggu (14/4). Sampai-sampai Hanafi tidur di tempat pemungutan suara (TPS) sehari jelang hari pemungutan suara.
"Menginap di TPS dari h-1. Pas hari h-nya sempat saya tanya, 'Bapak enggak sarapan dulu?' Tapi dijawab nanti saja," kata Tri saat ditemui di kediamannya, Tangerang Selatan, Banten pada Jumat (3/5).
Rumah almarhum Hanafi, petugas KPPS yang meninggal usai Pemilu 2019. (CNN Indonesia/Martahan Sohuturon) |
Menurutnya, Hanafi selama ini biasa menjadi petugas KPPS di lingkungan tempat tinggalnya setiap pemilu berlangsung, termasuk pemilihan kepala daerah (pilkada). Namun, volume aktivitas Hanafi sebagai petugas KPPS di Pemilu 2019 berbeda dan cenderung lebih padat dibandingkan sebelumnya.
Meski begitu, Hanafi tak pernah menceritakan keluhan lelah atau rasa sakit yang dialami karena kepadatan aktivitas tersebut. Hanafi juga tidak pernah bercerita tentang hal-hal terkait penyelenggaraan Pemilu 2019 yang membuat volume kegiatannya meningkat lebih padat kepada sang istri.
"Tidak pernah [cerita sakit]," kata Tri.
Di tempat yang sama, adik Tri, Gino Dipuro, menceritakan secara singkat sakit yang sempat dialami Hanafi sebelum akhirnya meninggal dunia. Menurutnya, hal tersebut bermula ketika kakak iparnya itu meninggalkan TPS untuk pulang ke rumah dan beristirahat pada Rabu (17/4) sekira pukul 12.00 WIB.
Setibanya di rumah, Hanafi sempat pergi lagi untuk membeli air kelapa. Setelah meminum air kelapa yang dibeli, Hanafi beristirahat selama satu jam hingga sekitar pukul 13.00 WIB.
Usai istirahat, Hanafi dipanggil oleh rekannya dan kembali ke TPS. Setelah dua jam berada di TPS, Hanafi yang masih merasa sakit memutuskan untuk pulang ke rumah dan kembali beristirahat hingga sore hari.
Namun, rasa sakit yang dialami Hanafi tak kunjung hilang hingga malam tiba. Gino akhirnya memutuskan untuk memanggil dokter ke rumah. Setelah diperiksa oleh dokter, dinyatakan asam lambung Hanafi dalam kondisi tinggi.
Setelah itu, Hanafi beristirahat dan tidak kembali lagi ke TPS untuk membantu proses penghitungan suara. Demikian pula sehari setelahnya, Hanafi hanya beristirahat di rumah hingga akhirnya mengembuskan nafas terakhir sekitar pukul 16.00 WIB.
Tim medis memeriksa kondisi kesehatan anggota TNI/Polri saat pengamanan penghitungan suara Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/Irfan Anshori) |
KPU Belum EvaluasiKomisioner KPU Evi Novida Ginting menyebut petugas KPPS yang meninggal dunia seperti Hanafi, sebagai pejuang demokrasi. Mereka telah berjuang untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu 2019 berlangsung sesuai aturan.
Evi menyatakan bangga terhadap kerja yang telah dilakukan oleh seluruh petugas KPPS. Dia juga menghormati jasa para petugas KPPS.
"Bahwa pejuang demokrasi yang telah mendahului kita ternyata bekerja sunguh-sungguh dan penuh semangat [demi] memastikan seluruh penyelenggaraan Pemilu [2019] sesuai dengan yang kita atur," ucap Evi kepada wartawan usai menemui keluarga almarhum Hanafi untuk memberikan santunan, Tangerang Selatan, Banten pada (3/5).
Meski begitu, Evi berkata, pihaknya belum bisa mengevaluasi rangkaian peristiwa meninggalnya ratusan petugas KPPS di Pemilu 2019. Menurut dia, pihaknya masih fokus pada proses rekapitulasi hasil pemungutan suara saat ini.
Evi menegaskan pihaknya bersama pemangku kepentingan terkait akan mengevaluasi proses penyelenggaraan Pemilu 2019 secara menyeluruh setelah proses rekapitulasi hasil pemungutan suara selesai dilaksanakan.
"Setiap penyelenggaraan pemilu kita tidak pernah tidak melakukan evaluasi, dan evaluasi itu kita sampaikan kepada berbagai pihak, kepada stakeholder. Kita melibatkan juga mereka untuk melakukan evaluasi dan ini tentu menjadi suatu kebiasaan yang memang harus kita lakukan," ucapnya.
Menyikapi peristiwa banyaknya petugas KPPS yang meninggal dunia, lembaga swadaya masyarakat hakasasi.id, ikut mengumpulkan data dan informasi terkait pelanggaran menyangkut petugas KPPS atau perlindungan masyarakat (linmas) dalam penyelenggaraan Pemilu 2019.
 Direktur hakasasi.id Haris Azhar. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Direktur hakasasi.id, Haris Azhar, mengatakan pihaknya akan segera menempuh upaya hukum terkait pelanggaran hak asasi yang dialami oleh petugas KPPS dan linmas Pemilu 2019, seperti terkait kejelasan hubungan kerja dan potongan pajak dari honor yang telah diberikan.
Namun timnya masih mengkaji siapa pihak yang seharusnya dituntut untuk bertanggung jawanb atas tragedi pemilu kali ini.
"Kami masih mengumpulkan laporan yang masuk. Sebagian sudah diinfokan di akun Twitter @hakasasi.id. Ke depan akan ada upaya hukum, misalnya meminta kejelasan aturan hukum hubungan kerja. Mereka itu sifatnya partisipatif atau kontrak resmi? Terus kenapa ada potongan pajak, apakah mereka layak diminta bayar pajak dari bayaran Rp500 ribu?" kata Haris.
Terpisah, Manajer Riset hakasasi.id, Daywin Prayogo, mengatakan pihaknya telah menerima banyak laporan dari masyarakat di seluruh Indonesia terkait pelanggaran hak asasi yang dialami petugas KPPS dan linmas Pemilu 2019.
Menurutnya, laporan-laporan yang diterima pihaknya itu terkait perlakuan tidak manusiawi terhadap petugas KPPS, baik yang menyebabkan sakit hingga meninggal dunia.
"Mayoritas terkait perlakuan tidak manusiawi terhadap petugas KPPS, mulai dari [masalah] jam kerja yang panjang dan berbahaya, minus jaminan kesehatan, hingga mengakibatkan sakit. Satu laporan di antaranya [terkait petugas KPPS] meninggal dunia," ujar Daywin.
Dia pun mengajak masyarakat yang mengetahui atau mengalami tindak pelanggaran hak asasi sebagai petugas KPPS dan linmas Pemilu 2019 untuk melaporkan diri kepada pihaknya.
Menurutnya, laporan dapat dikirim melalui surat elektronik (email) di
[email protected] [email protected]. Daywin berkata, pihaknya belum mematok tenggat waktu tertentu dalam mengumpulkan masyarakat ini.
Artikel bersambung ke halaman berikutnya "Parpol Dituntut Bertanggung Jawab"...
[Gambas:Video CNN]
Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menilai partai politik atau fraksi yang duduk di DPR RI harus ikut bertanggung jawab atas petaka Pemilu 2019 kali ini.
Menurutnya, keributan antarfraksi di Parlemen Senayan saat merevisi Undang-undang Pemilu pada 2016 hingga 2017 silam menjadi salah satu penyebab lahirnya petaka Pemilu 2019.
Pasalnya, kata Adi, keributan itu tidak menyentuh masalah teknis yang berpotensi menjadi masalah besar dari penyelenggaraan pemilu secara serentak, seperti waktu penghitungan suara.
Berdasarkan penelusuran
CNNIndonesia.com, tidak ada fraksi di DPR periode 2014-2019 yang menolak model penyelenggaraan pemilu secara serentak antara pemilihan anggota legislatif dan presiden.
Perdebatan sengit sempat terjadi ketika anggota dewan membahas ambang batas presiden. Bahkan, sebanyak empat fraksi melakukan aksi walk out saat proses Rapat Paripurna DPR untuk mengesahkan RUU Pemilu menjadi undang-undang yakni Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS.
Perwakilan partai sibuk mempersoalkan ambang batas presiden sebesar 20 persen yang dituangkan dalam UU Pemilu. Namun tidak ada kader partai di parlemen yang mendebat soal model penyelenggaraan pemilu serentak 2019.
“Fraksi di DPR waktu itu tidak ada yang membahas masalah ini, mereka tidak memikirkan implikasi keserentakan ini, hanya tahunya masalah ambang batas parlemen, ambang batas presiden, district magnitude, lalu metode konvesi suara,” kata Adi.
Dia menyatakan fraksi di DPR seharusnya membahas masalah waktu penghitungan yang panjang dan alot dalam model penyelenggaraan pemilu secara serentak ketika melahirkan revisi UU Pemilu yang akhirnya teregistrasi dalam Nomor 7 Tahun 2017.
Menurut Adi, pembahasan itu penting untuk selanjutnya dituangkan dalam petunjuk teknis KPU.
Salah satu anggota KPPS, Wahyu Army, menjalani perawatan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Singkil, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Selasa (23/4). (ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah) |
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Diponegoro, M. Yulianto, menyatakan negara dalam hal ini pemerintah juga harus bertanggung jawab terkait tragedi ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia pascapenyelenggaraan Pemilu 2019.
Menurutnya, jumlah petugas KPPS yang meninggal hingga 412 seperti saat ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah penyelenggaraan pemilu Indonesia.
Dia menuturkan salah satu faktor penyebab terjadinya tragedi ini adalah terlalu fokusnya perhatian KPU pada waktu pemungutan suara saat melakukan simulasi penyelenggaraan Pemilu 2019, sehingga lupa menyoroti masalah kesiapan fisik petugas KPPS.
“Beberapa waktu lalu tidak ada simulasi yang menyoroti tentang kesiapan fisik, tidak diperhatikan rumitnya pencoblosan, simulasi tidak lengkap dan detail,” kata Yulianto.
Ia pun meminta pemerintah bersama pemangku kepentingan terkait untuk segera melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait penyelenggaran Pemilu 2019.
Yulianto berkata, waktu penyelenggaraan pemungutan suara dan penghitungan suara harus menjadi fokus utama dalam evaluasi.
“Masukan unsur kesiapan, menyingkat waktu penyelenggaraan. Lalu sistem penghitungan bagaimana, apa harus dilaksanakan pada hari itu juga atau tidak,” ucapnya.
Petugas KPPS mendatangi warga yang sakit ke rumah saat pencoblosan Pemilu 2019. (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S.) |
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Idil Akbar juga mengkritik simulasi penyelenggaraan Pemilu 2019 yang dinilai mengabaikan persoalan waktu pengitungan suara.
Menurutnya, masalah waktu penghitungan suara ini pernah disampaikan oleh salah seorang saksi yang hadir di dalam simulasi kala itu.
“Beberapa saksi yang hadir dalam simulasi dulu pernah mengatakan [penghitungan suara] tidak selesai sampai jam 12 malam, artinya masalah sudah diprediksi,” ujar dia.
Menurutnya, kewajiban untuk menyelesaikan penghitungan lima lembar surat suara menjadi akar masalah di Pemilu 2019 yang berlangsung secara serentak ini.
Dia berpendapat, penyelenggara seharusnya menetapkan surat suara yang penghitungannya diprioritasikan dan surat suara yang proses penghitungannya dapat dilanjutkan keesokan harinya.
“Sistem penghitungan seharusnya tidak mengharuskan selesai pada hari yang sama. Mekanismenya ketika waktu pemungutan suara ditutup, pilih satu saja dulu yang pengitungannya diselesaikan, lalu yang lainnya diselesaikan besok penghitungannya,” ujar Idil.
Hingga kini, KPU masih melakukan rekapitulasi hasil pemilu hingga 22 Mei mendatang. KPU tetap optimistis proses ini bisa selesai tepat waktu.
[Gambas:Video CNN]