Jakarta, CNN Indonesia -- Pria berinisial HS melontarkan ancaman kepada capres nomor urut 01 Joko Widodo (
Jokowi) saat mengikuti demo di depan Kantor
Bawaslu RI, Jakarta, Jumat pekan lalu. Seraya bersumpah, HS mengatakan bakal memenggal kepala Jokowi.
Pernyataan HS tersebut direkam dengan ponsel salah satu pelaku aksi yang berlagak bak reporter untuk media sosialnya. Video rekaman tersebut kemudian
viral di media sosial. Tak butuh waktu lama, aparat kepolisian langsung bergerak menangkap HS.
Ia ditangkap di Perumahan Metro, Parung, Kabupaten Bogor. Penangkapan dilakukan pada Minggu (12/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah dilakukan pemeriksaan, HS kemudian ditetapkan sebagai tersangka. Ia disangkakan melanggar Pasal 104 KUHP dan atau Pasal 110 KUHP, Pasal 336 KUHP dan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
HS bukanlah orang pertama yang diamankan polisi terkait pernyataan bernada ancaman, entah disengaja atau sekadar bercanda. Jauh sebelum HS, seorang remaja berinisial RJ juga pernah diamankan polisi karena video
viralnya mengancam akan menembak Jokowi.
Menyikapi itu semua, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Bakir Ihsan menilai ancaman yang dilontarkan tak terlepas dari pengaruh kelompok ataupun komunitas.
Pada kasus HS, kata Bakir, dalam video yang beredar luas itu diketahui HS bersama kubu 02 melakukan aksi di depan Bawaslu RI. Itu, dinilai Bakir, turut memengaruhi psikologi HS saat melontarkan pendapat di depan kamera ponsel.
"Dalam kondisi seperti itu memang pengaruh komunitas, pengaruh kelompok sangat kuat, sering kali orang tidak terkontrol terhadap apa yang dikatakan," kata Bakir kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (15/5).
Menurut Bakir, setelah HS terpisah dari kelompoknya dan videonya
viral, barulah ia sadar bahwa luncuran kalimat dari mulutnya yang berisi ancaman itu salah. Faktor emosional itu, kata Bakir yang membuat HS menyampaikan pernyataan melampaui kewajaran, bahkan dinilai mengancam dan bisa membahayakan.
"Pada titik tertentu ketika emosionalitas pada seseorang sehingga dia lepas dari konteksnya dan dia sudah menyampaikan kata-kata yang justru mengancam dan dianggap bisa membahayakan," tuturnya.
Padahal, ketika tak emosional, perbedaan pilihan atau pandangan politik bisa disampaikan dengan pernyataan yang wajar atau tak bernada ancaman.
Selain faktor kelompok, Bakir menilai media sosial juga berperan membuat seseorang melakukan hal di luar batas norma. Bakir menyatakan masyarakat telah dikepung media sosial yang isinya saling menghujat satu kelompok pendukung dengan kelompok lainnya. Walhasil, sambungnya, itu turut memengaruhi seseorang dalam bertindak.
 Puluhan massa menggelar aksi protes di depan kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jakarta, 15 Mei 2019. Mereka menganggap banyak kecurangan selama tahapan Pemilu 2019 dilaksanakan. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Pendidikan PolitikBerkaca dari hal tersebut, Bakir menduga proses hukum terhadap HS dilakukan karena pemerintahan era Jokowi ingin memberi pelajaran agar masyarakat lain tak mudah melontarkan kata-kata yang melampaui kewajaran itu, apalagi hoaks.
Namun, Bakir mengingatkan agar polisi tak hanya sekadar menghukum orang yang melakukan kesalahan. Ia menginginkan para elite pun memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar lontaran tak keluar batas.
"Dia terjadi itu karena merupakan rangkaian dari atmosfer (politik) yang terjadi di republik ini dan juga menjadi tanggung jawab Presiden Jokowi dan pemerintahan di bawah Jokowi," kata Bakir.
Menurut Bakir, perlu dilakukan langkah-langkah preventif dan simultan dalam merespons kondisi yang terjadi di tengah semakin tinggi tensi politik setelah pemungutan suara Pemilu 2019.
Selain elite, kata Bakir, pemerintah pun perlu mendorong pendidikan politik untuk masyarakat secara serius dan bertahap agar tidak mudah terprovokasi untuk menyampaikan kritik dengan cara-cara yang tdak wajar.
"bagaimana proses kesadaran itu tumbuh perlu proses panjang dan itu dicicil terus menerus. Karena akan muncul kasus kasus seperti itu pada momen lainnya," ujar dia.
[Gambas:Video CNN]
Di sisi lain, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengkritik Polri yang menggunakan pasal makar untuk menjerat HS. Ia menilai penggunaan pasal makar terhadap HS tak tepat dan berlebihan.
Bunyi Pasal 104 KUHP yakni, "Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun."
Asfinawati mengatakan seharusnya Polri bisa menjerat HS dengan Pasal 156 KUHP tentang permusuhan.
Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp4.500".
Selain menggunakan Pasal 156 KUHP, ia menyebut polisi juga dapat menerapkan aturan dalam Pasal 335 KUHP. Pasal tersebut terdiri dari 2 ayat.
Pada Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP berbunyi, "Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain."
"Dia bisa kena pasal permusuhan 156 (KUHP) kalau dikaitkan dengan suatu kelompok di masyarakat. Atau Pasal 335 (KUHP) kalau ada unsur memaksa melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu," kata Asfinawati kepada
CNNIndonesia.com.
Asfinawati menyatakan yang paling terkena dampaknya dalam penerapan pasal makar ini adalah rakyat kecil. Kata dia, kalau elite politik yang dijerat dengan pasal makar pada umumnya akan terjadi barter ataupun lobi-lobi politik.
"Lihat saja, banyak yang proses hukumnya tidak berjalan. Akhirnya penegak hukum jadi ikut dalam negosiasi politik," ujarnya.
Namun, dorongan agar pemerintah memberikan pendidikan politik kepada HS bertolak belakang dari keinginan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Moeldoko menginginkan agar Polri tetap menindak pria yang mengancam akan memenggal kepala Jokowi.
Ia pun menyoroti tingkah laku masyarakat yang terang-terangan melanggar hukum, namun setelah Polri mengambil tindakan mereka langsung meminta maaf. Ia sudah meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk tetap menindak.
"Apa-apa ini yang begini, saya sudah sampaikan kepada Kapolri, jangan lagi ada (kata) maaf, tindak saja. Nanti diberi maaf makin enggak tertib," ujar mantan Panglima TNI itu, Selasa (14/5).
Moeldoko mengatakan masyarakat yang melanggar hukum tetap ditindak agar nantinya tak mengulangi perbuatannya. Menurut pensiunan jenderal bintang empat itu, negara bisa menjadi 'chaos' bila pelanggaran hukum dibiarkan.
"Nanti negara ini menjadi
chaos, negara ini menjadi anarkis, negara ini menjadi tidak tertib. Negara ini harus tetap tertib, enggak boleh sembarangan," tuturnya.