ANALISIS

People Power, Jalan Menuju Jurang Kekacauan

CNN Indonesia
Senin, 20 Mei 2019 08:18 WIB
Yusril Ihza Mahendra menganggap people power tak bisa digunakan karena landasan sosiologisnya tidak cukup kuat. Lagipula people power tidak ada urgensinya.
Aksi Unjuk Rasa di Gedung Bawaslu. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Tuduhan kecurangan itu wajib dibuktikan secara fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Pihak yang dibebani untuk membuktikan kecurangan adalah pihak yang menanggap dan/atau menuduh adanya kecurangan itu. Siapa yang menuduh wajib membuktikan.

"Itu dalil umum dalam hukum acara," katanya.

Pada akhirnya nanti, majelis hakimlah yang berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan dan dibuktikan itu terbukti "secara sah dan meyakinkan" atau "tidak" berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pengadilan dimaksud, dalam sistem ketatanegaraan kita adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya dalam sengketa Pilpres adalah bersifat final dan mengikat (final and binding).

Jadi, tidak bisa seseorang menyatakan ada kecurangan secara sepihak dengan menunjukkan alat-alat bukti dan saksi-saksi serta ahli secara sepihak dan menyimpulkan bahwa kecurangan memang ada dan "terbukti".

Lantas dengan anggapan itu, kata Yusril, seorang ahli agama diminta untuk mengutip ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagai dasar dalam mengajak sebagian umat Islam untuk melakukan people power.

"Sementara, kecurangan yang disebutkan baru merupakan sebuah praduga atau anggapan yang wajib dibuktikan di pengadilan," katanya.
Selanjutnya, apabila ada anggapan bahwa tidak ada gunanya membawa dugaan kecurangan itu ke MK karena pengadilan tidak fair dan memihak kepada Pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, maka kewajiban semua pihak di negara ini, bahkan dunia internasional, untuk sama-sama mengawasi MK agar tetap obyektif, adil dan tidak memihak dalam mengadili sengketa Pilpres nanti.

Menurut Yusril selama ini terlepas dari kekurangan yang ada, MK masih tetap dipercaya sebagai pengadilan yang obyektif dalam mengadili perkara-perkara yang sarat dengan muatan politik. Pihak yang menganggap curang, tentu dapat menghadirkan para advokat handal untuk menghadirkan alat-alat bukti dan argumen yang kokoh dalam persidangan.

Sekiranya pihak yang menganggap ada kecurangan tidak mau membawa permasalahannya ke MK, maka Keputusan KPU tentang hasil pemungutan suara menjadi final.

Namun jika tetap dibawa ke MK, maka semua pihak harus menunggu putusan MK. MK sendiri sudah menjadwalkan pendaftaran sengketa Pilpres pada tanggal 23-26 Mei 2019 dan Putusan akan dibacakan pada tanggal 24 Juni 2019.

Setelah dibacakan putusan tanggal 24 Juni itu, maka proses persidangan selesai dan tidak ada upaya hukum apapun lagi yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berperkara.

Bagaimana dengan pihak yang apabila nantinya kalah dalam sidang MK, namun ternyata tetap tidak dapat menerima kekalahan dan tetap mendeklarasikan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden? ini kemudian disusul dengan tindakan people power untuk memaksa mundur Presiden dan Wakil Presiden yang secara konstitusional terpilih dan telah ditetapkan oleh KPU?

"Kalau ada pemimpin yang menggerakkan people power untuk memaksa Presiden yang sah turun dari kekuasaannya, tindakan itu bukanlah people power melainkan tindakan kudeta yang menggunakan cara-cara revolusioner di luar konstitusi," katanya.

Sebab itu, Yusril mengajak semua pihak agar tetap menghormati proses konstitusional dalam menyikapi keputusan akhir KPU tentang pemenang Pilpres nanti.

"People power tidak mungkin bisa digunakan karena landasan sosiologisnya tidak cukup kuat," katanya.

Lagi pula, jangan dilupakan bahwa people power pada akhirnya akan mencari legitimasi konstitusional seperti dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto.

Legitimasi kontitusional apa yang mungkin akan didapatkan oleh mereka yang kalah dalam Pilpres tetapi tidak mau menerima kekalahan meskipun dengan alasan dicurangi? Yusril belum menemukan jawabannya.

Pemenang Pilpres hanya akan legitimate secara konstitusional jika ada Surat Keputusan KPU dan dia dilantik serta mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Sidang MPR. Setelah dilantik, Presiden wajib membentuk dan mengumumkan susunan anggota Kabinet. Dengan mekanisme yang dilalui itu, dia baru sah secara konstitusional untuk menjalankan kekuasaan sebagai seorang Presiden.
Legitimasi konstitusional seperti itu takkan didapatkan oleh pihak yang kalah dalam Pilpres yang mendeklarasikan diri sebagai Presiden secara sepihak.

"Menolak Presiden yang terpilih dan dilantik secara konstitusional berpotensi membawa negara ini ke tepi jurang kekacauan tak berujung," katanya.

Amandemen UUD 45, kata Yusril, tidak memberikan kerangka atau membuka jalan keluar jika terjadi krisis konstitusional terkait dengan kedudukan Presiden.

Jadi, jika Presiden pemenang hasil Pilpres ditolak untuk dilantik menjadi Presiden oleh MPR tanggal 20 Oktober nanti, atau gagal dilantik karena ada people power akibat MPR tidak dapat bersidang, maka siapa yang akan menjalankan kekuasaan sebagai Presiden?

Terhitung sejak tanggal 20 Oktober nanti, masa jabatan Presiden Joko Widodo sudah habis. Tanpa dilantik sekali lagi dan mengucapkan sumpah sebagai Presiden pada periode kedua, tindakan Joko Widodo sebagai Presiden semuanya tidak sah.

Sementara Presiden yang kalah Pilpres tetapi mendeklarasikan sebagai Presiden, tentu tidak mempunyai legitimasi konstitusional apapun untuk memerintah.

Satu-satunya jalan adalah kalau dia memaksakan diri menjadi Presiden dengan cara kudeta merebut kekuasaan. Selanjutnya, dia memerintah sebagai diktator dengan dukungan militer yang tentunya akan menggunakan "emergency law".

"Keadaan seperti ini, tentu tidak akan membawa kebaikan dan kemaslahatan apapun bagi bangsa dan negara ini," kata Yusril.
(ugo/ugo/gil)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER