Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana aksi
people power berbalut Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat (GNKR) yang akan digelar 22 Mei 2019 di Gedung
Bawaslu dan
KPU, Jakarta, bisa membawa bangsa Indonesia menuju jurang kekacauan yang tak berujung.
Sejak isu people power untuk menolak hasil pemilihan umum 2019 digulirkan, menurut Wakil Ketua Umum DPP PPP, Arwani Thomafi telah menimbulkan situasi yang tidak nyaman di tengah masyarakat.
"Meskipun sebagai bagian dari hak berserikat, berkumpul dan menyampaikan pendapat, people power sebaiknya tetap harus dalam koridor hukum dan moral," kata Arwani dalam keterangannya kepada
CNNIndonesia.com
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Narasi provokatif dan agitatif yang diserukan sejumlah elite politik, agamawan, dan kalangan intelektual harus dihentikan demi persatuan bangsa.
Istilah People Power semakin banyak terdengar dalam dalam wacana politik usai pelaksanaan Pemilu Serentak 2019. Secara sederhana, istilah "people power" itu dimaksudkan sebagai penggunaan kekuatan massa (rakyat) untuk mendesakkan perubahan politik atau pergantian kekuasaan di suatu negara.
Guru Besar Hukum Tata Negara
Yusril Ihza Mahendra menjelaskan pada umumnya, people power itu digunakan untuk meruntuhkan rezim yang berkuasa relatif terlalu lama, dianggap diktator, sewenang-wenang dan menyengsarakan rakyat.
People power biasanya terjadi karena upaya-upaya normal konstitusional untuk melakukan perubahan terhalang oleh kekuatan rezim, baik menggunakan kekuatan militer maupun kekuatan lembaga-lembaga konstitusional dan administratif yang direkayasa begitu rupa untuk melanggengkan kekuasaan.
Dalam sejarah, terdapat beberapa kasus people power seperti terjadi di Philipina dalam meruntuhkan kekuasaan Presiden Ferdinand Marcos, dan
people power dalam mendesakkan mundurnya Presiden Sukarno (1966/1967), serta people power dalam mendesak untuk melengserkan Presiden Soeharto (1998).
Dalam konteks Pemilu 2019, Yusril mengatakan faktor-faktor yang melatarbelakangi people power seperti terjadi dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto, pada hemat saya nampaknya tidak ada.
"Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru memerintah kurang dari lima tahun dalam periode pertama jabatannya. Ia secara sah dan konstitusional berhak untuk maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) periode kedua," katanya.
Walaupun, kata Yusril, tentu terdapat kekurangan dan kesalahan selama menjalankan pemerintahannya pada periode pertama, namun belum nampak Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan secara diktator dan sewenang-wenang sebagaimana yang dianggap dilakukan oleh Marcos, Soekarno dan Soeharto.
Jokowi juga belum nampak melakukan KKN sebagaimana dilakukan oleh Marcos dan Soeharto serta keluarga dan kroninya.
"Lantas kalau demikian, apa urgensinya melakukan people power?" tanya Yusril.
 Aksi massa menolak hasil perhitungan sementara Pemilu 2019 di Bawaslu. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Ungkapan keinginan untuk melakukan people power sekarang ini lebih banyak disebabkan oleh anggapan bahwa Pemilu, khususnya Pilpres, berjalan secara curang. Kecurangan itu dianggap telah dilakukan secara TSM (Terstruktur, Sistematis dan Masif) yang melibatkan aparat negara dan penyelenggara Pemilu untuk memenangkan Calon Presiden Incumbent dan mengalahkan pasangan capres-cawapres yang lain.
Dalam kenyataannya, baik perhitungan cepat (
Quick Count) maupun perhitungan nyata (
Real Count) KPU, untuk sementara ini Pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin memang unggul sekitar 10-11 persen dari pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Hasil final penghitungan suara yang akan menentukan pasangan mana yang menang, kewenangan itu secara konstitusional ada pada KPU. Tidak ada lembaga apapun dan pihak manapun juga, termasuk pasangan calon, yang berwenang menyatakan pasangan mana yang memenangkan Pilpres ini.
"Kewenangan itu sepenuhnya ada pada KPU," katanya.
Mahkamah Konstitusi (MK) pun hanya berwenang untuk memutuskan sengketa perhitungan suara dalam Pilpres. Setelah MK memutuskan masing-masing pasangan dapat suara berapa, maka tindak-lanjut atas Putusan MK itu harus dituangkan dalam Keputusan KPU.
Keputusan KPU itulah yang nantinya dijadikan dasar oleh MPR untuk menyelenggarakan Sidang untuk melantik dan mendengarkan pengucapan sumpah jabatan Presiden sesuai ketentuan UUD 1945.
"Tanpa Keputusan KPU tentang siapa yang memenangkan Pilpres, MPR tidak dapat mengadakan sidang untuk melantik dan mendengar pengucapan sumpah Presiden," katanya.
Tanpa melalui semua proses ini, siapapun yang mengaku dirinya atau didaulat oleh sejumlah orang menjadi Presiden RI, maka tindakan yang dilakukan itu dalam perspektif hukum tata negara adalah inkonstitusional, dan secara hukum pidana adalah kejahatan terhadap keamanan negara.
Terhadap penyelenggaraan Pilpres 2019 ini, jika salah satu pasangan calon Presiden dan para pendukungnya berpendapat telah terjadi kecurangan, maka kecurangan itu tidak dapat dinyatakan secara
a priori sebagai sebuah kebenaran.
[Gambas:Video CNN]
Tuduhan kecurangan itu wajib dibuktikan secara fair, jujur dan adil melalui sebuah proses hukum. Pihak yang dibebani untuk membuktikan kecurangan adalah pihak yang menanggap dan/atau menuduh adanya kecurangan itu. Siapa yang menuduh wajib membuktikan.
"Itu dalil umum dalam hukum acara," katanya.
Pada akhirnya nanti, majelis hakimlah yang berwenang memutuskan apakah kecurangan yang didalilkan dan dibuktikan itu terbukti "secara sah dan meyakinkan" atau "tidak" berdasarkan alat-alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku.
Pengadilan dimaksud, dalam sistem ketatanegaraan kita adalah Mahkamah Konstitusi (MK) yang putusannya dalam sengketa Pilpres adalah bersifat final dan mengikat (
final and binding).
Jadi, tidak bisa seseorang menyatakan ada kecurangan secara sepihak dengan menunjukkan alat-alat bukti dan saksi-saksi serta ahli secara sepihak dan menyimpulkan bahwa kecurangan memang ada dan "terbukti".
Lantas dengan anggapan itu, kata Yusril, seorang ahli agama diminta untuk mengutip ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi Muhammad SAW, sebagai dasar dalam mengajak sebagian umat Islam untuk melakukan people power.
"Sementara, kecurangan yang disebutkan baru merupakan sebuah praduga atau anggapan yang wajib dibuktikan di pengadilan," katanya.
Selanjutnya, apabila ada anggapan bahwa tidak ada gunanya membawa dugaan kecurangan itu ke MK karena pengadilan tidak fair dan memihak kepada Pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, maka kewajiban semua pihak di negara ini, bahkan dunia internasional, untuk sama-sama mengawasi MK agar tetap obyektif, adil dan tidak memihak dalam mengadili sengketa Pilpres nanti.
Menurut Yusril selama ini terlepas dari kekurangan yang ada, MK masih tetap dipercaya sebagai pengadilan yang obyektif dalam mengadili perkara-perkara yang sarat dengan muatan politik. Pihak yang menganggap curang, tentu dapat menghadirkan para advokat handal untuk menghadirkan alat-alat bukti dan argumen yang kokoh dalam persidangan.
Sekiranya pihak yang menganggap ada kecurangan tidak mau membawa permasalahannya ke MK, maka Keputusan KPU tentang hasil pemungutan suara menjadi final.
Namun jika tetap dibawa ke MK, maka semua pihak harus menunggu putusan MK. MK sendiri sudah menjadwalkan pendaftaran sengketa Pilpres pada tanggal 23-26 Mei 2019 dan Putusan akan dibacakan pada tanggal 24 Juni 2019.
Setelah dibacakan putusan tanggal 24 Juni itu, maka proses persidangan selesai dan tidak ada upaya hukum apapun lagi yang dapat ditempuh oleh para pihak yang berperkara.
Bagaimana dengan pihak yang apabila nantinya kalah dalam sidang MK, namun ternyata tetap tidak dapat menerima kekalahan dan tetap mendeklarasikan diri sebagai Presiden dan Wakil Presiden? ini kemudian disusul dengan tindakan people power untuk memaksa mundur Presiden dan Wakil Presiden yang secara konstitusional terpilih dan telah ditetapkan oleh KPU?
"Kalau ada pemimpin yang menggerakkan people power untuk memaksa Presiden yang sah turun dari kekuasaannya, tindakan itu bukanlah people power melainkan tindakan kudeta yang menggunakan cara-cara revolusioner di luar konstitusi," katanya.
Sebab itu, Yusril mengajak semua pihak agar tetap menghormati proses konstitusional dalam menyikapi keputusan akhir KPU tentang pemenang Pilpres nanti.
"People power tidak mungkin bisa digunakan karena landasan sosiologisnya tidak cukup kuat," katanya.
Lagi pula, jangan dilupakan bahwa people power pada akhirnya akan mencari legitimasi konstitusional seperti dalam kasus Marcos, Soekarno dan Soeharto.
Legitimasi kontitusional apa yang mungkin akan didapatkan oleh mereka yang kalah dalam Pilpres tetapi tidak mau menerima kekalahan meskipun dengan alasan dicurangi? Yusril belum menemukan jawabannya.
Pemenang Pilpres hanya akan legitimate secara konstitusional jika ada Surat Keputusan KPU dan dia dilantik serta mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Sidang MPR. Setelah dilantik, Presiden wajib membentuk dan mengumumkan susunan anggota Kabinet. Dengan mekanisme yang dilalui itu, dia baru sah secara konstitusional untuk menjalankan kekuasaan sebagai seorang Presiden.
Legitimasi konstitusional seperti itu takkan didapatkan oleh pihak yang kalah dalam Pilpres yang mendeklarasikan diri sebagai Presiden secara sepihak.
"Menolak Presiden yang terpilih dan dilantik secara konstitusional berpotensi membawa negara ini ke tepi jurang kekacauan tak berujung," katanya.
Amandemen UUD 45, kata Yusril, tidak memberikan kerangka atau membuka jalan keluar jika terjadi krisis konstitusional terkait dengan kedudukan Presiden.
Jadi, jika Presiden pemenang hasil Pilpres ditolak untuk dilantik menjadi Presiden oleh MPR tanggal 20 Oktober nanti, atau gagal dilantik karena ada people power akibat MPR tidak dapat bersidang, maka siapa yang akan menjalankan kekuasaan sebagai Presiden?
Terhitung sejak tanggal 20 Oktober nanti, masa jabatan Presiden Joko Widodo sudah habis. Tanpa dilantik sekali lagi dan mengucapkan sumpah sebagai Presiden pada periode kedua, tindakan Joko Widodo sebagai Presiden semuanya tidak sah.
Sementara Presiden yang kalah Pilpres tetapi mendeklarasikan sebagai Presiden, tentu tidak mempunyai legitimasi konstitusional apapun untuk memerintah.
Satu-satunya jalan adalah kalau dia memaksakan diri menjadi Presiden dengan cara kudeta merebut kekuasaan. Selanjutnya, dia memerintah sebagai diktator dengan dukungan militer yang tentunya akan menggunakan "emergency law".
"Keadaan seperti ini, tentu tidak akan membawa kebaikan dan kemaslahatan apapun bagi bangsa dan negara ini," kata Yusril.