Jakarta, CNN Indonesia -- Gugatan capres
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terhadap kekacauan Sistem Informasi Penghitungan Suara atau
Situng milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) mentah di Mahkamah Konstitusi (MK). Majelis hakim menilai tudingan pemohon terkait Situng tidak beralasan menurut hukum.
"Situng bukan sebagai data final karena masih dimungkinkan koreksi berjenjang..." kata Hakim Suhartoyo di gedung MK, Jakarta Kamis (27/6).
Situng menjadi sorotan bagi kubu Prabowo dalam pilpres kali ini. Mereka berkali-kali meneriaki ada dugaan pelanggaran dan kecurangan dalam Situng. Hal ini lantas mereka bawa dalam gugatan ke MK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam permohonannya, tim hukum Prabowo-Sandi menyebut ada banyak kekacauan input data dalam Situng yang merugikan mereka.
Sebelumnya, Hakim Enny Nurbaningsih mencontohkan kekacauan Situng yang diungkit kubu 02. Salah satunya kasus yang terjadi di TPS 17 di Desa Lembur Situ, Kecamatan Situ Mekar, Kota Sukabumi.
Di TPS itu perolehan suara paslon 01 adalah 42 suara, paslon 01 adalah 161 suara. Namun dalam Situng tertulis paslon 01 memperoleh 161 suara dan paslon 02 dapat 42 suara.
Kasus lain adalah TPS siluman. Hakim Enny membacakan dari permohonan pemohon disebut ada perbedaan jumlah TPS yang telah ditetapkan dalam surat penetapan KPU nomor 860 Tahun 2019. Menurut surat tersebut ada 810.352 TPS di Indonesia. Tapi di Situng ada 813.336 di seluruh Indonesia.
Hal lain yang digugat adalah prinsip keamanan yang menurut kubu Prabowo-Sandi tidak ada dalam Situng KPU.
"Pemohon KPU tidak menerapkan prinsip keamanan informasi dan prinsip sistem manajemen layanan teknologi informasi dalam pelaksanaan Pilpres 2019," kata hakim Enny membacakan permohonan pemohon.
"Banyak kesalahan input data pada situng KPU yang mengakibatkan terjadi ketidaksesuaian data pada Situng dengan data yang terdapat C1 di 34 provinsi di seluruh Indonesia," kata hakim Enny.
Pada sidang sebelumnya, saksi dari kubu Prabowo-Sandi, Hermansyah, mengatakan bahwa Situng tidak mencatat alamat internet protocol (IP) mereka yang menginput data. Dengan demikian, Hermansyah meyakini Situng rawan disusupi pihak tak dikenal.
"Menurut saya kalau ada intruder itu, IP tidak didaftarkan yang melakukan. Misalnya ada yang input data dari eksternal, harusnya dengan pencatatan IP bisa di-
blacklist dari sisi IP," kata Hermansyah dalam sidang di Gedung MK, Jakarta, Rabu (19/6).
Situng, menurut Hermansyah, juga memiliki celah dalam kelengkapan data. Ia menyebut Situng hanya menampilkan perolehan suara tanpa dilengkapi pindai formulir C1.
Jaswar Koto, pakar perangkat biometrik yang dihadirkan tim Prabowo sebagai ahli, lebih jauh menuduh perolehan suara dalam
quick count dipakai untuk Situng dan rekapitulasi manual KPU.
Ahli IT Marsudi Wahyu Kisworo dihadirkan KPU dalam sidang PHPU Pilpres 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino). |
Kecurigaan Jaswar ini berangkat dari angka tabulasi dari ketiga sistem itu yang menurutnya tidak jauh berbeda.
"Kalau analisa saya, kita harus melihat dari
quick count, karena
quick count itu memberikan input kepada Situng, dan ke rekapitulasi berjenjang. Kenapa, karena jumlahnya sama," ujar Jaswar di sidang MK, Kamis (20/6).
Jaswar lantas mengatakan ada data palsu berupa formulir C1 abal-abal. Data palsu ini menurutnya diunggah ke Situng untuk menggelembungkan perolehan suara pasangan capres 01.
"Ini pola kesalahan meski KPU bilang sudah diperbaiki. Dua kali menganalisa polanya 01 dimenangkan, 02 diturunkan," ucap Jaswar.
Pada lain kesempatan, ahli yang didatangkan oleh KPU membantah pernyataan saksi dan ahli kubu Prabowo. Marsudi Wahyu Kisworo, ahli dari KPU sekaligus orang yang diklaim sebagai arsitek Situng, mengatakan bahwa sejak awal Situng tak dirancang sebagai penghitungan suara guna menentukan hasil pemilu.
Tim Hukum Prabowo-Sandi menghadirkan Hermansyah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono). |
Marsudi menenkankan bahwa Situng dibuat untuk sarana transparansi KPU kepada masyarakat untuk mengontrol proses pemungutan suara.
"Situng memang tidak dirancang untuk sistem penghitungan suara, tapi dirancang sebagai sarana transparansi kepada masyarakat sehingga masyarakat punya fungsi kontrol terhadap proses penghitungan suara yang dilakukan secara berjenjang," kata Marsudi.
Marsudi juga menjelaskan bahwa Situng punya dua komponen. Situng yang dipermasalahkan selama ini, menurut Marsudi, bukan Situng yang sesungguhnya, melainkan web atau situs dari Situng yang ada di situs KPU.
"Situng yang sesungguhnya hanya bisa diakses dari dalam KPU dan diperlengkapi dengan berbagai macam pengamanan termasuk lokasi-lokasi, kalau terjadi bencana misalnya," kata Marsudi.
Hakim Suhartoyo sendiri dalam pertimbangannya mengatakan dalam tampilan web situng sudah ada disclaimer bahwa data yang ada disalin apa adanya. Apabila terdapat kekeliruan pemilih C1 dapat dilakukan perbaikan.
"Selain itu data di situng bukan hasil resmi penghitungan suara. Penghitungan suara dilakukan berjenjang...," ujar Suhartoyo.
"...Sulit meyakini kebenaran pemohon jika pemohon hanya mendapat data dari situs web KPU dan pemohon tidak dapat menunjukkan bukti berapa angka yang salah atau yang benar. Apalagi pemohon tidak menjelaskan apakah data itu sudah diperbaiki dalam rapat pleno berjenjang," ujar Suhartoyo menambahkan.
[Gambas:Video CNN] (bin/ugo)