ICJR Pertanyakan Norma Adat Masuk Ranah Pidana dalam RKUHP

CNN Indonesia
Senin, 01 Jul 2019 10:43 WIB
Salah satu isu krusial yang dibahas dalam RKUHP adalah perbuatan yang menurut hukum di suatu daerah termasuk pelanggaran pidana adat bisa dibawa ke pengadilan.
Massa dari Aliansi Masyarakat Sipil Tolak RUU KUHP saat menggelar aksi di depan Istana Merdeka, 10 Maret 2018.(CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rancangan Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sedang digodok di DPR RI saat ini. Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP DPR RI Arsul Sani mengatakan proses tersebut sudah melewati tahap konsinyering atau menerima masukan dari pihak terkait pada 25-26 Juni 2019.

Panja, kata Arsul, akan membahas kembali hasil dari konsiyering itu, terutama pada isu-isu krusial, setidaknya pada Juli ini.

"Ada tujuh isu krusial yang tersisa di revisi KUHP," kata Arsul kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta pada Jumat (28/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu dari isu krusial yang akan dibahas tersebut, kata Arsul, adalah aturan perbuatan yang menurut hukum di suatu daerah termasuk pelanggaran pidana adat. Dia menyatakan, perbuatan yang dinilai melanggar hukum di suatu daerah itu nantinya bisa diajukan ke pengadilan, tetapi dengan hukuman hukum adat.


Secara terpisah, lewat keterangan tertulis yang diterima, Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu menilai polisi dan jaksa dapat memproses pidana semua perbuatan yang dianggap masuk ke dalam kategori hukum yang hidup dalam masyarakat (norma adat) justru akan merusak asas legalitas. Asas legalitas, sambungnya, justru ingin melindungi warga negara dari potensi kesewenang-wenangan negara yang memiliki instrumen hukum pidana.

"Asas legalitas adalah asas pertama dan utama dalam hukum pidana. Dalam KUHP saat ini, asas legalitas diletakkan Pada Pasal 1 atau pasal pertama, memberikan tanda betapa krusialnya ketentuan ini. Asas legalitas sering digambarkan dalam adegium 'dikatakan tidak ada perbuatan, yang dapat dihukum tanpa peraturan yang mendahuluinya'," demikian keterangan Erasmus dalam keterangan yang diterima, Senin (1/7).

Ia menegaskan asas legalitas itu memberikan batasan terhadap kekuasaan negara sehingga tidak sewenang-wenang dapat menentukan perbuatan seseorang adalah perbuatan pidana sehingga dapat dihukum. Itu pun, kata dia, tercantum dalam Pasal 28I UUD 1945 yang menegaskan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Erasmus pun menyoroti soal norma adat yang bisa dijadikan dasar hukum ke pengadilan seperti tercantum dalam Pasal 2 draf RKUHP versi 25 Juni 2019.

Ada beberapa poin yang disebut Erasmus membuat pasal 2 itu janggal atau menjadikan masyarakat jadi tumbal bila diterapkan. Pertama melanggar asas legalitas, kemudian hukum adat tak tertulis dan tak tegas memisah pidana serta perdata.

Ketiga adalah bagaimana memetakan yurisdiksi hukum tersebut karena jumlah masyarakat adat yang tersebar dan tak terbatas administrasi pemerintah daerah. Dan, siapa yang akan menegakkan hukum tersebut.

"ICJR merasa bahwa niat baik perumus RKUHP dalam mengakomodir hukum adat dapat diterima, namun meninggalkan rumusan yang bahkan pembahasannya saja tidak pernah mencapai kesepakatan jelas akan menjadikan masyarakat sebagai tumbal," katanya yang menimbang agar pemerintah DPR menghapus ketentuan pada Pasal 2 RKUHP itu saja.

(kid/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER