Jakarta, CNN Indonesia -- Koalisi masyarakat sipil meminta penundaan pengesahan Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (
RKUHP) karena masih memuat pasal penghinaan dan penodaan agama. Ketentuan itu dianggap multitafsir dan bisa diterapkan secara diskriminatif.
"Meskipun semangat pasal ini baik tetapi perlu diganti dengan kata yang tidak multitafsir," kata Pratiwi dari LBH Jakarta, Selasa (2/7).
Pasal yang dimaksud dalam RKUHP itu adalah pasal 250 dan pasal 313 yang mengatur soal penghinaan agama.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Setiap Orang yang di muka umum melakukan penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, dan agama, atau terhadap kelompok berdasarkan jenis kelamin, umur, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV," demikian bunyi pasal 250 RKUHP versi 25 Juni 2019.
"Setiap Orang di muka umum melakukan penghinaan terhadap agama yang dianut di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V," demikian bunyi pasal 313 RKUHP.
 DPR mengaku segera mengesahkan RKUHP sebelum periode di parlemen berganti. ( Adhi Wicaksono) |
Aliansi masyarakat sipil ini juga memandang penggunaan istilah penghinaan atau penodaan agama sudah tak lagi relevan.
Berdasarkan Resolusi Dewan HAM 16/18 yang diinisiasi oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 2011, istilah penodaan agama disepakati diganti menjadi "memerangi intoleransi". Lagipula, di forum internasional itu juga diketahui bahwa istilah penodaan mendapat penentangan dari berbagai negara.
"Kata penghinaan sebaiknya diganti dengan siar kebencian untuk melindungi pemeluk agama dari kejahatan," imbuh Pratiwi.
Di samping istilah penghinaan dan penodaan agama dalam RKUHP ini, koalisi juga lima delik hukum terkait agama yang berpotensi diskriminatif.
Pertama, Pasal 2 RKUHP yang dinilai memungkinkan hukum yang hidup dalam masyarakat yang tidak diatur dalam KUHP tetap berlaku. Hal itu menyimpang dari asas legalitas dan berpotensi membuka celah hukum seperti yang ada dalam perda-perda diskriminatif yang sudah ada.
Kedua, kalimat "Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama" yang dipakai sebagai judul Bab VII RKUHP dinilai menyalahi bahasa serta konsep. Koalisi menyebut agama adalah subyek hukum dan justru penganut agama yang seharusnya ditempatkan sebagai subyek hukum.
 Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi |
Ketiga, pasal-pasal yang memuat diksi yang berpotensi multitafsir. Koalisi menemukan potensi ini dalam pasal 315, pasal 316, dan pasal 503.
Akibat delik agama yang berpotensi diskriminatif ini, koalisi meminta DPR menunda rencana pengesahan RKUHP dan pembahasannya kembali dibuka dengan masyarakat.
"Kami meminta pengesahan RKUHP ditunda dan pembahasan dengan masyarakat terkait dibuka kembali dengan mengedepankan asas legalitas dalam hukum pidana secara tertib yang terdiri atas asas
lex scripta,
lex stricta,
lex temporis delicti,
lex certa serta semangat 'restorative justice' dan prinsip-prinsip hak asasi manusia," pungkas Pratiwi.
Koalisi masyarakat sipil ini merupakan koalisi advokasi kemerdekaan beragama atau berkeyakinan yang terdiri dari beragam lembaga swadaya masyarakat.
Di antaranya adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Institute Legal Resource Center (ILRC), Human Rights Watch Group, Pusat Studi Agama dan Lintas Budaya UGM, Pusad Paramadina, Gusdurian, Lakpesdam NU, Paritas, Wahid Foundation, dan INKLUSIF.
(bin/arh)