Jakarta, CNN Indonesia -- Posisi
Partai Gerindra di panggung politik nasional setelah Pilpres 2019 masih jadi tanda tanya. Jika memutuskan bergabung dengan koalisi pemerintah dan mendapat jabatan, partai pimpinan Prabowo Subianto ini akan kehilangan pendukung dan harapan di Pemilu 2024.
Sejumlah politikus dari parpol pengusung pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin sudah memberikan sinyal membuka pintu jika Gerindra ingin bergabung. Akan tetapi, ada pula yang menolak dengan alasan demokrasi membutuhkan oposisi.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra Mulyadi meminta pengurus partainya agar berhati-hati dengan berbagai godaan yang mencuat. Terutama jika ada yang memuji-muji dan menilai Gerindra patut menjadi bagian dari koalisi pemerintahan.
Menurut Mulyadi, Gerindra bakal ditinggal pendukungnya jika memutuskan bergabung dalam koalisi pemerintahan. Dampak buruknya, Gerindra tidak memiliki masa depan yang cerah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Keinginan koalisi pendukung pemerintah untuk mengajak bergabung, buat saya adalah strategi untuk mengubur masa depan Partai Gerindra di tahun 2024, karena hilangnya kepercayaan pendukung militan Pak Prabowo, Pak Sandi dan partai Gerindra," tutur Mulyadi.
 Logo Partai Gerindra. ( Adhi Wicaksono) |
Direktur Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojuddin Abbas mengatakan Gerindra memang akan mendapat banyak kerugian jika menjadi bagian dari koalisi pemerintahan. Meski berpotensi mendapat menteri, Gerindra bakal diberi stempel negatif oleh para pendukungnya sendiri.
"Mungkin dapat menteri, tapi akan kehilangan kepercayaan konstituen. Gerindra akan dinilai tidak punya komitmen ideal. Hanya jadi partai oportunis," tutur Sirojuddin saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (4/7).
Sirojuddin memprediksi pamor Prabowo Subianto bakal turun drastis, popularitasnya bakal terjun bebas jika bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Dampak jangka panjangnya adalah Gerindra bakal kehilangan banyak suara di Pemilu 2024. Bahkan, jika Prabowo maju kembali sebagai capres, dipastikan tidak bakal menang.
Jika benar-benar menjadi bagian koalisi, Gerindra pun tidak akan leluasa seperti saat menjadi oposisi. Mereka akan terikat oleh etika berkoalisi. Misalnya, tidak bisa mengkritik habis-habisan kinerja pemerintah.
"Jika jadi oposisi, mereka akan punya peluang untuk membangun basis konstituen lebih luas," imbuh Sirojuddin.
 Direktur Program SMRC Sirojudin Abas. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Senada, pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno memprediksi Gerindra akan rugi jika merapat ke barisan Jokowi-Ma'ruf.
Adi mengamini bahwa Gerindra bisa mendapat jabatan, baik menteri atau pimpinan lembaga lain. Posisi-posisi tersebut bisa dikapitalisasi dalam rangka menyusun kekuatan menghadapi Pemilu 2024.
Namun, katanya, itu tidak akan sebanding dengan dampak buruk yang harus ditanggung. Pemilih Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 bakal kecewa berat dan memberikan stempel negatif kepada Gerindra.
"Jumlah pemilih Prabowo kemarin itu 68 juta lebih. Sebagian besar mereka ingin ganti presiden. Kalau Prabowo justru merapat ke koalisi Jokowi, konflik batin di level bawah terjadi luar biasa," ucap Adi.
"Di tingkat elite atau pengurus Gerindra mungkin bisa selesai. Tetapi bagaimana dengan emak-emak, ustaz-ustaz yang kemarin mati-matian di level bawah? Mereka itu dulu menganggap [pilpres sebagai] Perang Badar lho. Ini perjudian. Pertaruhan besar," ucap Adi.
Sosiolog Universitas Indoensia Thamrin Tomagola menyebut Gerindra melecehkan suara rakyat jika bergabung dengan koalisi pemerintahan. Konsekuensinya, masyarakat bakal kehilangan kepercayaan pada Gerindra, bahkan kepada proses demokrasi.
 Emak-emak militan pendukung Prabowo-Sandiaga. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Melecehkan suara rakyat. Dalam demokrasi kan suara Rakyat adalah suara Tuhan. Kalau rakyat sudah memilih, tiba tiba yang dipilih pindah, wah padahal rakyat sudah habis-habisan," kata Thamrin.
"Kalau tidak percaya terhadap elite politik, ya mungkin wajar lah. Tapi jangan sampai mereka tidak percaya kepada demokrasi. Karena dia bisa percaya ke khilafah. Pakai cara khilafah. Imam besar diangkat jadi penguasa," tandasnya.
[Gambas:Video CNN] (bmw/arh)