Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (
PDIP) di DPR RI,
Rieke Diah Pitaloka mengajukan diri menjadi penjamin
penangguhan penahanan terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE),
Baiq Nuril.
Surat penangguhan penahanan tersebut diberikan Rieke kepada Ketua DPR RI Bambang Soesatyo dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Nasir Djamil di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu (10/7)
"Kami mohon dukungannya agar Kejaksaan Agung kami mohon penangguhan eksekusi. Perlu diketahui, Ibu Baiq Nuril pantang pulang sebelum kita berhasil memenangkan keadilan ini, jadi kalau bisa saya titip surat penangguhan penahanan," kata Rieke.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rieke mengatakan semua fraksi di DPR kini sedang menanti langkah Presiden Jokowi untuk melayangkan permintaan pertimbangan DPR dalam mengeluarkan pemberian amnesti untuk Baiq Nuril. Ia mengatakan anggota dewan saat ini pun tengah gencar melakukan berbagai kajian dan diskusi agar tak salah langkah dalam memberikan rekomendasi amnesti kepada presiden.
"Agar ini tidak menjadi preseden nanti orang sedikit-sedikit minta amnesti, tidak untuk semua kasus amnesti itu diberikan," kata politikus perempuan yang sempat melanglang buana sebagai aktris itu.
Tak hanya itu, Rieke menyatakan Baiq Nuril seyogyanya tak bersalah dalam kasus tersebut. Ia mengatakan para ahli yang dihadirkan di persidangan di tingkat pengadilan negeri pun dengan kuat menunjukkan bahwa Nuril tak bersalah.
"Makanya PN kemudian membebaskan dari tuntutan ibu Baiq Nuril ini," kata Rieke.
Melihat hal itu, Rieke meminta seluruh anggota di DPR untuk bersama-sama mendukung agar Jokowi dapat secepatnya memberikan amnesti ke Baiq Nuril.
Di tempat yang sama, sebelumnya, Nasir meyakini seluruh fraksi di DPR RI akan setuju ketika Jokowi meminta pertimbangan untuk memberi amnesti kepada Baiq Nuril.
"Saya
haqqul yaqin bahwa seluruh fraksi di DPR akan memberikan persetujuan kepada Presiden terkait pemberian amnesti kepada Baiq Nuril, karena ini juga momentum untuk menghadirkan apa yang disebut dengan
restorative justice," kata Nasir dalam sebuah diskusi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (10/7).
Dia meyakini hal tersebut bukan karena opini yang berkembang di tengah masyarakat, melainkan karena kondisi atau kronologi kejadian yang telah dialami Baiq Nuril.
Menurut Nasir, hukum yang berjalan di Indonesia saat ini sangat legalistik dan formalistik sehingga menutup ruang untuk melakukan satu upaya, dan seolah-olah hukum mampu menyelesaikan masalah. Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat kronologi kejadian sebenarnya yang dialami Baiq Nuril tidak diperhatikan.
"Seolah-olah majelis hakim itu mengabaikan apa yang disebut dengan keadilan dan kemanfaatan hukum. Hanya bicara soal kepastian hukum, tetapi soal keadilan dan kemanfaatan hukum itu sama sekali sepertinya diabaikan dalam kasus Baiq Nuril ini," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyatakan pemberian amnesti kepada Baiq Nuril perlu persetujuan dari DPR. Sementara saat ini pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly masih mengkaji pemberian amnesti tersebut.
"Ya presiden dan pemerintah melalui menkumham sedang mengkaji kemungkinan berikan amnesti itu. Tapi untuk memberi amnesti kan perlu persetujuan DPR," ujar JK di kantor wakil presiden, Jakarta, Rabu (10/7).
Ketika DPR setuju, kata JK, maka proses pengampunan hukuman dari Presiden Joko Widodo kepada Baiq Nuril akan mudah.
Baiq Nuril menjadi terpidana UU ITE dalam kasus penyebaran konten bermuatan asusila. Upaya peninjauan kembali yang diajukan mantan tenaga honorer SMAN 7 Mataram, NTB, itu pun telah ditolak Mahkamah Agung.
Dalam perjalanan kasusnya, Baiq Nuril dipidanakan mantan atasannya di SMAN 7 Mataram, dengan tudingan menyebarkan rekaman percakapan 'mesum' lewat telepon. Lantaran merasa dipermalukan, Muslim pun melaporkan perkara itu ke polisi.
Di satu sisi, Baiq sendiri disebut sebagai korban pelecehan yang dilakukan atasannya karena membicarakan perihal 'mesum' itu pada dirinya.
Pada putusan tingkat pertama, PN Mataram menyatakan Baiq terbebas dari tuntutan. Namun, di tingkat kasasi, MA memutuskan Baiq Nuril melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Baiq Nuril pun lalu mengajukan PK, yang kini telah ditolak MA tersebut.
[Gambas:Video CNN] (rzr/mts/kid)