KPAI Soroti Legalitas Anggota TNI di MOS SMA Taruna Palembang

CNN Indonesia
Kamis, 18 Jul 2019 02:31 WIB
KPAI menyatakan rekomendasi atas pemeriksaan SMA Taruna Indonesia Palembang itu akan ditembuskan ke Presiden Jokowi dan Mendikbud Muhadjir Effendy.
Komisioner KPAI Retno Listyarti. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Palembang, CNN Indonesia -- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) RI mempertanyakan legalitas atau surat resmi atas adanya pendampingan anggota TNI selama kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) di SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia Palembang.

Diketahui kegiatan MOS di SMA Taruna Indonesia telah menyebabkan 1 orang siswa baru DBJ (14) tewas dan 1 lainnya, WJ (14) kritis di rumah sakit.

Komisioner KPAI RI Retno Listyarti mengatakan pihak sekolah menerangkan padanya saat kegiatan MOS ada tiga anggota TNI yang ikut serta. Bahkan, dalam kegiatan long march yang menjadi pemicu kelelahan yang dialami DBJ, terdapat dua orang anggota TNI yang ikut menjadi pendamping.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Berdasarkan keterangan pihak sekolah, ada anggota TNI 2 orang yang hadir saat peristiwa. 3 orang yang bertugas, tapi 2 orang yang hadir. Kalau memang ada pendampingan dari TNI, ada enggak surat perintah dari kesatuannya," ujar Retno, Palembang, Rabu (17/7).


Sementara itu dikonfirmasi terpisah, Kepala Penerangan Kodam II/Sriwijaya Kolonel Infanteri Djohan Darmawan mengonfirmasi ada anggota TNI yang ikut melatih dalam kegiatan MOS di SMA Semi Militer Taruna Indonesia Palembang.

"Anggota TNI hanya mengajarkan kedisiplinan atau Wasbang [wawasan kebangsaan] dan latihan PBB [Peraturan Baris-Berbaris] saja," ujar Djohan singkat.

Rekomendasi KPAI

Dalam pendalaman kasus kekerasan berujung kematian saat MOS di SMA Taruna tersebut, Retno mengaku telah meminta sejumlah berkas dan dokumen dari pihak sekolah untuk diteliti, dan akan menjadi dasar pemberian rekomendasi yang tepat.

"Pengawasan dari Disdik kurang. Kita nanti akan memberikan rekomendasinya ke Dinas Pendidikan dan Pemerintah Provinsi Sumsel dengan tembusan ke Presiden dan Mendikbud. Saya rasa harus dievaluasi sekolah sejenis ini, jangan sampai ada korban lainnya," ujar dia.

Dari hasil pemeriksaan sementara atas kegiatan MOS di sekolah yang berdiri sejak 2005 tersebut, Retno menilai ada kelalaian dari Dinas Pendidikan Sumsel lalai dalam fungsi pengawasan. Retno mengatakan kegiatan long march sejauh 14 kilometer yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan tersebut pun dilakukan usai penutupan MOS dan di luar agenda resmi.

"Long march ini tidak ada di rundown MOS, dilakukan setelah penutupan. Saya tidak mau [kasus] ini ditarik hanya kepada pribadi [tersangka Obby]. Jangan-jangan proses ini sudah lama terjadi, hanya saja yang sekarang kekerasan yang dilakukan parah dan menyebabkan siswa meninggal," ujar Retno.

Dirinya meyakini bentuk kekerasan dalam MOS tidak terjadi secara tiba-tiba hanya di tahun ini pada sekolah yang telah berdiri selama 15 tahun. Adanya 1 siswa tewas dan 1 siswa dalam kondisi kritis akibat kekerasan menimbulkan prasangka dari KPAI bahwa anak lain pun mengalami kekerasan yang sama, namun memilih bungkam.

"Itu ada proses panjang dalam beberapa hari MOS itu, pasti dia [korban] mengalaminya sampai merasa tidak tahan dan akhirnya meninggal. [Korban] yang masih koma harus jadi perhatian, artinya tidak satu orang saja. Jangan-jangan anak lain mengalami tapi tidak bicara. Ini perlu didalami, saya juga akan ke kepolisian untuk menguatkan analisa kita nantinya," kata dia.



Pihaknya akan mendorong untuk dilakukannya evaluasi total kepada SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia Palembang. Pengawasan dari dinas terkait dan pemerintah provinsi pun harus diperkuat untuk mencegah jatuh korban lainnya.

"Kebetulan sekolah ini habis masa izin Oktober, sesuai akreditasi harus dievaluasi sekolah sejenis ini. Kita dorong evaluasi total termasuk audit keuangan dan program pembelajaran," ujar Retno.

Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan orang tua agar anaknya bisa bersekolah di SMA Taruna Indonesia pun tidak sesuai dengan fasilitas dan kualitas lulusan sebelumnya.

Retno mengungkapkan, berdasarkan pengakuan salah satu orang tua siswa, mereka harus merogoh kocek Rp22 juta untuk biaya masuk. Kemudian siswa dibebankan iuran per bulan sebesar Rp1,5 juta, serta iuran per semester Rp3 juta.

"Sarana dan prasarana kurang memadai untuk sekolah berasrama dengan biaya mahal. Saya minta data lulusan sini yang betul-betul ke akademi militer dan polisi, ternyata tidak ada. Yang ada lulusan tahun kemarin hanya masuk Secaba, tidak ada yang masuk Akmil dan Akpol. Saya tidak tahu untuk lulusan tahun sebelumnya. Padahal branding di sekolah ini jual semi-militer untuk persiapan Akmil dan Akpol," ujar dia.


[Gambas:Video CNN] (idz/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER