ICJR Kritik Penangkapan Faisol Terduga Penghina Jokowi

CNN Indonesia
Kamis, 18 Jul 2019 18:29 WIB
ICJR menyatakan penangkapan Faisol yang diduga menghina Presiden Jokowi, tidak berdasar hukum karena MA telah menghapus kriminalisasi penghinaan kepada Presiden
Direktur ICJR, Anggara. (CNN Indonesia/Harvey Darian)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penetapan Faisol Abod Batis sebagai tersangka penghinaan terhadap Presiden Joko Widodo dan Polri, tidak berdasar.

Sebelumnya, Kepala Biro Masyarakat dan Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo mengatakan Faisol mengunggah konten penghinaan dan ujaran kebencian melalui akun instagram @reaksirakyat1.

Menurut ICJR penghinaan presiden tak bisa dikriminalisasi. Pendapat itu, kata Ketua Badan Pengurus ICJR Anggara, berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 013-002/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Pasal 134, Pasal 136 bisa dan Pasal 137 ayat (1) KUHP tentang penghinaan presiden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain itu, jika Faisol disebut menyebarkan propaganda kebencian, hal itu juga dinilai tidak tepat.

"Enggak ada tuh pasal penghinaan presiden. Kan, enggak jelas. Dan propaganda kebencian itu terhadap golongan bukan terhadap jabatan," jelas Anggara kepada CNNIndonesia.com, Kamis (18/7).

Terkait propaganda kebencian, Anggara menjelaskan seharusnya hal itu tidak disangkakan kepada Faisol lantaran ia tidak menyerukan itu kepada suatu golongan, sekelompok orang, ras atau suku atau pun agama.

Dalam keterangan polisi disebut bahwa Faisol mengaku menghasut masyarakat untuk benci terhadap pemerintah. Namun Anggara mengatakan Faisol tidak memiliki kemampuan untuk memberikan pengaruh terhadap masyarakat.

"Apa dia punya kemampuan untuk menghasut?" kata Anggara.

"Kalau pidana penghasutan kebencian terhadap pemerintah, itu perkara ada delik materiil. Harus ada korban," ujarnya lagi.


Revisi UU ITE


Faisol dijerat dengan sangkaan Pasal 45 A ayat 2 jo Pasal 28 ayat 2 UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 16 jo Pasal 4 huruf (b) UU No 40 Tahun 2008 tentang penghapusan diskriminasi ras dan etnis dan/atau Pasal 14 ayat 2 dan/atau Pasal 15 UU No 1 Tahun 1946 tentang penyebaran berita bohong dan/atau Pasal 207 KUHP dan/atau Pasal 160 KUHP tentang penghinaan terhadap penguasa dan mengganggu ketertiban umum.

Faisol ditangkap pada Rabu (10/7) di Kota Malang, Jawa Timur, setelah menyinggung Jokowi di Instagram, lalu mengaitkannya dengan puluhan warga yang tewas di kasus konflik agraria sepanjang tahun 2015-2018.

Polri turut disinggung terkait dugaan pelanggaran HAM pada aksi kerusuhan 21-22 Mei lalu. Dia menulis itu di akun Instagram, @reaksirakyat1 yang diduga akun miliknya.

"Kebohongan demi Kebohongan dipertontonkan oleh seorang pemimpin negara. Bagaimana rakyat akan percaya terhadap pemimpin seperti ini. Konflik agraria rezim Jokowi: 41 orang tewas, 51 orang tertembak, 546 dianiaya, dan 940 petani, pejuang lingkungan dikriminalisasi. Terjadi 1.769 kasus konflik agraria sepanjang pemerintahan tahun 2015-2018. Kasus tersebut meliputi konflik perkebunan, properti, hutan, laut, tambang, dan infrastruktur," tulis Faisol di akunnya yang dibacakan oleh polisi, kemarin.

"Polisi gagal melindungi hak asasi manusia saat Aksi 21-23 Mei 2019," tambah Faisol.

Menanggapi hal itu Anggara meminta agar DPR RI segera merevisi UU ITE, terutama sejumlah pasal yang dianggap karet seperti pasal 27 dan 28. Dua pasal itu disebut telah memakan banyak korban kriminalisasi.

"Ada soal duplikasi tindak pidana. Itu salah satunya pasal 27 dan 28 ada penghinaan, propaganda kebencian, berita bohong. Itu semua ada di KUHP tapi cara perumusannya terlampau karet. Akhirnya kena kayak si Ibu Baiq Nuril," terang Anggara.

[Gambas:Video CNN] (ani/wis)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER