Nunukan, CNN Indonesia -- Mulut Anton masih sibuk menyeruput semangkuk mi instan yang bertabur cabai rawit merah. Mi berkuah kental dan telur setengah matang itu nampak sangat lezat bagi Anton sore itu.
"Ini Mi Maggy dari Malaysia. Boleh coba," kata Anton kepada
CNNIndonesia.com di sebuah kedai makan persis perbatasan Indonesia-Malaysia, Sebatik, Kalimantan Utara.
Saat itu Anton sedang mengunjungi keluarganya, yaitu sang pemilik kedai bernama Ambok. Ia sudah tinggal sejak tahun 80-an di daerah perbatasan Malaysia-Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ambok tinggal di kawasan Patok 3, Kelurahan Aji Kuning, Kecamatan Sebatik Barat, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Mi Maggy adalah satu dari banyak produk Malaysia yang biasa beredar di Aji Kuning. Beberapa produk lainnya yang terkenal seperti Aek Chong (minuman teh tarik khas Malaysia) hingga Milo Malaysia.
"Di sini sudah biasa, makanan mereka (Malaysia) masuk, makanan kita masuk (juga) ke mereka," ujar Anton.
Setiap akhir pekan terkadang ada pasar yang memang jadi ajang bertukar barang antara Indonesia dan Malaysia. Biasanya produk Indonesia yang terkenal dikonsumsi Malaysia seperti ikan asin dan udang rebon.
Mereka juga terbiasa menggunakan dua mata uang, Rupiah dan Ringgit dalam melakukan jual beli. Bahkan terkadang, terjadi 'inflasi' lokal di sekitaran perbatasan Indonesia-Malaysia.
Satu Ringgit Malaysia bisa dihargai lebih dari harga normal. Bukan karena alasan khusus, melainkan alasan efisiensi.
"Biasanya ibu-ibu itu yang enggak mau rugi. Susah kembalian katanya makanya 1 RM
dibuletin bisa Rp4000 sampai Rp5000 dihargainya," kata Anton.
Kedai keluarga Anton ini terletak tepat di belakang rawa perbatasan Indonesia-Malaysia. Di kawasan ini hanya dibatasi oleh satu pucuk bendera Merah Putih yang tertanam di depan kedai Ambok.
Ada sungai kecil yang memiliki lebar tak kurang dari lima meter yang membatasi dua negara. Sungai tersebut bahkan lebih mirip parit lantaran air keruh berwarna cokelat dan tidak terawat.
Ada sejumlah sampan yang digunakan warga sebagai sarana transportasi ke pelabuhan resmi.
Di depan kedai itu terdapat satu pos penjagaan kecil milik TNI Angkatan Darat. Beberapa anggota TNI yang berjaga di tempat itu lengkap dengan senjata laras panjang.
 Sungai kecil yang memiliki lebar sekitar lima meter yang membatasi dua negara. (CNN Indonesia/LB Ciputri Hutabarat) |
Anton mengatakan kehidupan di daerah perbatasan berbeda dengan yang tinggal di tengah-tengah negara. Anton mencontohkan soal pemadaman listrik. Ia menyinggung soal pemadaman listrik massal di Jakarta beberapa waktu lalu.
"Kalau di Jakarta adek baru mati lampu ya. Kalau kami di sini sudah bosan," kata Anton.
"Kalau adek di sana dikasih kompensasi, kalau kami di sini enggak ada."
Lelaki berumur 40 tahun ini mengatakan mati lampu sudah seperti minum obat. Bisa dua kali dalam sehari, Ambok sang pemilik kedai pun mengamini hal tersebut.
"Biasanya sore dan malam bisa mati lampu. Ya begitu setiap hari," kata Ambok sambil membenahi topi hitamnya saat bercerita.
Sepengetahuan Anton, sumber listrik warga di Aji Kuning berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Sungai Nyamuk.
Mereka pernah mengalami kondisi berjaya lantaran tidak mati lampu.
Namun beberapa tahun terakhir, sumber listrik itu terkadang menjadi sumber listrik bagi Kabupaten Nunukan kota.
Dari kota Nunukan ke Aji Kuning, tempat Anton ini dapat ditempuh dalam satu jam jalur darat plus 20 menit menggunakan speed boat.
"Jadi bergilir lah kami. Kalau gangguan dari sentral rusak ya kami ikutan mati. Kalau mesin di sini hanya membantu kalau kurang," ujarnya.
Tak hanya soal listrik bagi warga yang menjadi kendala, penerangan di sekitar perbatasan juga masalah tersendiri karena hanya ada penerangan dari rumah warga.
"Kalau enggak penerangan dari kita ya mungkin enggak cukup anggarannya buat lampu dari Nunukan," jawab Anton.
Anton juga berceloteh tentang penggunaan telepon seluler di kawasan Aji Kuning, lantaran tak sedikit warga yang terkena
roaming dari Malaysia.
Kondisi ini bagi Anton adalah sebuah lelucon, karena hal tersebut biasa dirasakan oleh warga perbatasan.
"Kami juga sering pulsa tiba-tiba habis karena mungkin sinyal mereka (Malaysia) lebih kuat. Jadi terkena roaming. Ya tiba-tiba saja habis," kata dia sambil tertawa.
 Suasana di Perbatasan Indonesia-Malaysia, Sebatik, Kalimantan Utara. (CNN Indonesia/LB Ciputri Hutabarat) |
Banyak bercerita miris, bibir Anton sempat mengembang saat bercerita Presiden Joko Widodo pernah berkunjung ke Sebatik. Ia pun dengan semangat menjelaskan titik kunjungan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Pak Jokowi sudah pernah datang itu tempat sampai manjat-manjat. Kalau mau ke sana dari sini lurus terus lalu belok kanan tanya saja Pos AL nanti bakal dikasih tau," kata dia.
Anton turut berbangga mendengar Ibu Kota akan dipindahkan ke Kalimantan. Meski masih jauh dari tempatnya, ia optimistis bahwa bakal ada perubahan di daerah tempat tinggalnya itu.
"Kan sudah dipastikan Pak Presiden bakal pindah. Ya pasti ada perubahan lah di sini. Kan enggak mungkin enggak, ya kan?," kata Anton.
[Gambas:Video CNN] (ctr/agr)