Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang dugaan penyebaran berita bohong atau
hoaks dengan terdakwa Dewi Budiati Teruna Jasa Said kembali digelar di Pengadilan Negeri Medan, Rabu (4/9). Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan saksi korban
Djarot Saiful Hidayat.
Di persidangan, Djarot menceritakan awal mula kasus itu dilaporkannya ke Polda Sumut. Pada 5 Juni 2018, calon gubernur Sumatera Utara tersebut berkunjung ke Kantor Apdesi di Kabupaten Asahan, Sumut. Saat itu memang dalam masa Pilkada Sumut.
Namun selanjutnya, ia begitu terkejut saat mengetahui ada akun Facebook yang menuduhnya kabur usai digerebek polisi karena kedapatan membagi-bagikan uang untuk para kepala desa di Asahan agar memilihnya menjadi Gubernur Sumut. Djarot melihat status itu dibagikan oleh salah satu akun Facebook dengan nama Dewi Budiati.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya diundang ke sana untuk acara silaturahmi. Yang hadir di sana semua kepala desa. Di sana saya
sharing pengalaman. Karena saya pernah jadi wali kota. Jadi
sharing bagaimana mengelola anggaran keuangan kepala desa. Saat itu tidak ada perkataan pilihlah saya. Saya di sana sekitar 30 menit," kata Djarot Saiful Hidayat.
Menurut Djarot, tuduhan itu sama sekali tidak benar. Karena itulah, ia lantas melaporkan akun tersebut. Djarot mengaku kecewa dan prihatin. Penyebaran berita hoaks masih saja terjadi. Padahal itu berbahaya bagi demokrasi ke depan. Apalagi tahun 2020 mendatang akan digelar Pilkada Serentak.
"Saya sedih, ini opini dan halusinasi yang disebarkan, karena berbahaya. Bukan persoalan untung rugi, tapi ini menjadi penyakit di generasi. Penyebaran berita bohong tanpa ada tabayyun klarifikasi ini merugikan. Karena kita negara hukum ya kita laporkan hari itu juga. Tindakan seperti ini tidak benar. Saya bukan tipe yang lari dikejar-kejar orang, maaf ya," urainya di hadapan majelis hakim yang diketuai Sri Wahyuni Batubara.
Di akhir kesaksiannya, Djarot juga menyampaikan agar masyarakat tidak sembarangan menyebarkan berita hoaks. Sebab media sosial bukanlah untuk menyampaikan berita bohong dan mengadu domba. Sebab masyarakat boleh berbeda pilihan, tapi bukan berarti harus saling membenci bahkan menjelek-jelekkan.
"Mari kita mengedepankan toleransi. Ingat kita sesama saudara, jangan lagi kita menyebarkan berita bohong. Kita punya
smartphone, maka kita harus
smart. Kita harus bijak gunakan
gadget kita, maka demokrasi kita semakin baik. Bukankah kita semua bersaudara," ujarnya.
Di akhir persidangan, Ketua Majelis Hakim Sri Wahyuni sempat kesal kepada terdakwa Dewi Budiati Teruna Jasa Said. Pasalnya saat diminta tanggapan terkait keterangan saksi korban apakah ada yang benar atau tidak benar, terdakwa yang juga merupakan wartawan senior di salah satu media lokal kota Medan itu dianggap tidak mengerti pertanyaan hakim.
"Yang saya tanyakan apa yang enggak bener dari keterangan saksi ini, itu aja. Kok enggak ngerti," ucap Hakim Ketua.
Terdakwa Dewi mengaku keberatan dengan keterangan saksi korban mengenai Pilkada 2020. Sebab menurutnya keterangan itu tidak ada hubungannya dengan persidangan. Namun lagi-lagi Hakim Ketua menegur terdakwa dan penasehat hukumnya, sehingga majelis hakim langsung menutup persidangan.
"Pengacara, tolong dijelaskan pada terdakwa ini. Nanti akan punya kesempatan soal itu. Anda hanya menjelaskan kalau ada keterangan terdakwa ini yang tidak benar, itu yang mana. Percuma Anda ditanya enggak ngerti juga," ujar Sri dengan marah.
[Gambas:Video CNN] (fnr/rea)