ANALISIS

Revisi UU KPK, Siasat Jokowi Lemahkan Pemberantasan Korupsi

CNN Indonesia
Selasa, 17 Sep 2019 08:34 WIB
Pengamat menilai beberapa poin yang didukung Jokowi dalam draf revisi UU KPK justru mengandung motif negatif dengan niat pelemahan KPK.
Foto: CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan
Selain mendukung sejumlah poin substansial dalam revisi UU KPK, Jokowi turut menolak empat poin dalam rancangan yang disusun DPR itu.

Namun, jika ditelaah lebih lanjut, yang benar-benar ditolak Jokowi dalam rancangan UU KPK itu sebenarnya hanya dua poin; koordinasi penuntutan dengan Kejagung dan mencabut kewenangan mengelola LHKPN.

Sementara dua poin lainnya secara substansial bila melihat draf revisi UU KPK yang disusun, Jokowi setuju penyadapan memerlukan izin dewan pengawas serta penyelidik dan penyidik KPK berstatus ASN.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam draf revisi UU KPK, penyadapan diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C. Di Pasal 12B disebutkan, penyadapan dilaksanakan atas seizin tertulis dewan pengawas. Kemudian dewan pengawas dapat memberikan izin atau tidak memberikan izin tertulis.

Pernyataan Jokowi yang menolak penyadapan perlu izin pihak luar faktanya tak tertuang dalam rancangan UU KPK yang disusun DPR. Secara tak langsung melalui pernyataan menolak izin pihak luar, sesungguhnya Jokowi menghendaki agar penyadapan perlu izin dewan pengawas.


Kemudian terkait penolakan Jokowi agar penyelidik dan penyidik tak hanya dari unsur kepolisian dan kejaksaan, tetapi juga berasal dari unsur ASN yang diangkat dari pegawai KPK maupun instansi pemerintah lain, telah diatur dalam rancangan UU KPK baru tersebut.

Ketentuan soal penyelidik tertuang di Pasal 43, yang berbunyi, "Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia." Jokowi tak ingin penyelidik hanya berasal dari Polri.

Sementara itu terkait penyidik tertulis di Pasal 45, yang berbunyi, "Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyidik yang diangkat dari Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, dan penyidik pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang."

Pada intinya Jokowi tetap menginginkan penyelidik dan penyidik KPK berstatus sebagai ASN.

Ficar menyatakan nampaknya Jokowi ingin juga menjadikan KPK hanya sebagai lembaga pencegahan korupsi. Padahal, kata Ficar, 17 tahun lalu pembentukan KPK ini merupakan respons atas lemahnya penegakan hukum, khsususnya pemberantasan korupsi.

"Ini akan menjadi sejarah baru bahwa pada pemerintahan Jokowi lah KPK menjadi lemah. Situasi sekarang ini situasi konspirasi pelemahan pemberantasan korupsi," kata Ficar.


Sementara itu, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pasundan Romli Atmasasmita mengatakan pelemahan KPK yang ditakutkan sejumlah pihak lewat revisi UU KPK ini perlu dikaji dari tugas dan wewenang yang tertuang dalam Pasal 6 dan Pasal 9.

"Draf RUU KPK tidak menghilangkan ketentuan tersebut. Penguatan KPK jelas dalam pidato presiden yang tertuang dalam masukan DIM pemerintah," kata Romli dikonfirmasi terpisah CNNIndonesia.com.

Romli menyatakan isu KPK berada di bawah dan tanggung jawab kepada presiden sangat menyesatkan. Menurutnya, sifat independen KPK tertuang di dalam Pasal 3 draf revisi UU KPK.

Pasal 3 tertulis, "Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga Pemerintah Pusat yang dalam melaksanakan tugas dan wewenang melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen."

Sementara terkait pengaturan penyadapan dibuat lebih rinci agar lembaga antikorupsi itu tetap profesional.

"Wewenang penyadapan lebih dirinci justru agar KPK tetap profesional dan langkah-langkah menyadapan akuntabel, baik kepada tersangka dan keluarga maupun kepada publik," tuturnya.

(fra/dal)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER