Jakarta, CNN Indonesia -- Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan dugaan pelanggaran berat etik yang dilakukan
Firli Bahuri saat menjabat Deputi Penindakan
KPK harus dilanjutkan ketika jenderal bintang dua itu kembali masuk ke lembaga antirasuah.
Firli terpilih menjadi ketua KPK periode 2019-2023 melalui proses pemilihan di Komisi III DPR. Kapolda Sumatera Selatan itu terpilih bersama Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Nurul Ghufron, dan Lili Pintauli Siregar.
Mereka berlima telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Senin (17/9). Pimpinan KPK terpilih tersebut rencananya dilantik pada akhir Desember 2019.
"Kalau berdasarkan teori maka sangat bisa diteruskan dan justru harus diteruskan demi kepastian hukum untuk membuktikan bersalah atau tidak bersalah," kata Boyamin kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Melalui jumpa pers, Rabu (11/9), Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menyatakan bahwa Firli terbukti melakukan dugaan pelanggaran berat. Kesimpulan ini diperoleh setelah Direktorat Pengawasan Internal KPK merampungkan pemeriksaan terhadap Firli yang dilakukan sejak 21 September sampai 31 Desember 2018.
 Lewta konferensi pers, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengungkap bahwa Firli melakukan pelanggaran etik berat. ( CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Dalam proses pemeriksaan itu, didapat sejumlah temuan bahwa Firli melakukan beberapa pertemuan yang tak berhubungan dengan tugasnya.
Pertama, pertemuan dengan mantan Gubernur NTB Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang yang dilakukan sebanyak dua kali. Padahal, KPK sedang melakukan penyelidikan dugaan korupsi terkait kepemilikan saham pemerintah daerah dalam PT Newmont pada 2009-2016.
Pertemuan pertama terjadi pada 12 Mei 2018 dalam acara harlah GP Ansor ke-84 dan launching penanaman jagung 100.000 hektare di Bonder Lombok Tengah. Pertemuan kedua dilakukan esok harinya dalam acara Farewell and Welcome Game Tennis Danrem 162/WB di Lapangan Tenis Wira Bhakti.
Kedua, Firli bertemu dengan pejabat BPK Bahrullah Akbar di Gedung KPK, 8 Agustus 2018, sebelum menjalani pemeriksaan sebagai saksi.
Ketika itu Firli mengajak Bahrullah untuk ke ruangannya terlebih dahulu. Firli lantas memanggil penyidik yang menangani kasus yang menyeret Bahrullah. Dari rekaman video mereka berdua melakukan pertemuan sekitar 30 menit. Selepas itu Bahrullah baru menjalani pemeriksaan.
Kemudian yang ketiga, Firli melakukan pertemuan dengan pimpinan partai politik di sebuah Hotel di Jakarta, pada 1 November 2018.
 Firli mengaku pernah makan malam dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Wakabareskrim Irjen Antam Novambar, namun membantah membicarakan kasus dan hanya supervisi. ( ANTARA FOTO/Fikri Yusuf) |
Hasil pemeriksaan terhadap Firli itu lantas disampaikan kepada Pimpinan KPK tanggal 23 Januari 2019. Selanjutnya pada 7 Mei 2019, pimpinan KPK meminta pertimbangan Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) KPK atas hasil pemeriksaan Firli.
Pada 17 Mei, DPP langsung menggelar rapat. Di sana Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM) memaparkan laporan hasil pemeriksaan terhadap mantan Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) itu.
Kemudian di tengah proses ini, Polri mengirim surat penarikan Firli pada 11 Juni. Dalam surat itu, tertera Firli dibutuhkan dan akan mendapat penugasan baru di lingkungan Polri. DPP KPK pun belum melanjutkan proses itu karena Firli keburu ditarik oleh Korps Bhayangkara.
Boyamin menyebut kelanjutan proses DPP terkait laporan dugaan pelanggaran berat etik dibutuhkan agar Firli mendapatkan kepastian hukum sebelum bertugas sebagai pimpinan KPK. Menurutnya, Firli membutuhkan kepastian untuk hindari gangguan selama menjabat jika kemudian dinyatakan tidak bersalah.
"Jika dinyatakan melanggar kode etik berat maka menjadi jalan Firli untuk mengundurkan diri demi kebaikan KPK dan NKRI," ujarnya.
Sementara itu, Peneliti hukum di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti pesimistis dugaan pelanggaran berat etik Firli dibuka lagi ketika yang bersangkutan kembali ke KPK.
 Puluhan pegawai KPK melakukan aksi demo usai pengesahan revisi UU KPK dan pemilihan Firli sebagai Ketua KPK. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Bivitri menilai tak mungkin Firli yang datang kembali dengan jabatan sebagai ketua KPK membuka lagi kasus dugaan pelanggaran berat etiknya.
"Masalahnya adalah untuk sampai ke tingkatan itu kan mesti ada persetujuan dari pimpinan juga. Padahal dia ketuanya. Jadi saya cukup yakin itu enggak akan terjadi si," ujarnya.
Sementara itu, anggota Pansel Capim KPK Hendardi menyatakan pihaknya meloloskan Firli dalam seleksi karena tak mendapat laporan bahwa yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran berat etik atas putusan DPP KPK.
Dia menuturkan bahwa tahapan peradilan etik di KPK dimulai dari Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM), lalu berlanjut ke lima Komisioner KPK, untuk kemudian membawanya ke DPP KPK.
Kasus etik di KPK, lanjut Hendardi, baru berkekuatan hukum tetap jika DPP KPK sudah menjatuhkan putusan. Sementara, Firli baru masuk tahap pertama.
Hendardi mengaku sudah menanyakan masalah ini ketika Direktur Pengawasan Internal KPK menyerahkan rekam jejak sejumlah calon, termasuk Firli pada akhir Agustus lalu.
 Anggota Pansel Capim KPK Hendardi menyebut dugaan pelanggaran etik Firli belum sampai 'inkracht' karena baru tahap pertama. ( CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Ia mengatakan berdasarkan penjelasan pegawai KPK itu, proses terhadap Firli belum selesai karena yang bersangkutan keburu ditarik Polri.
"Otomatis dia ditarik oleh Kapolri, otomatis
case closed. Tutup kasus. Dia ditarik bisa dua hal kan, untuk menghindari kasus atau memang ada penugasan. Itu bukan urusan saya," kata Hendardi beberapa waktu lalu.
Sebelumnya, Firli, saat mengikuti uji kelayakan dan kepatutan capim KPK, menyebut pertemuan itu dilakukan bukan dengan pihak yang berstatus tersangka. Selain itu, saat seleksi capim KPK, dia mengklaim pimpinan KPK sudah menyatakan tidak ada pelanggaran etik.
[Gambas:Video CNN] (fra/arh)