Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Hukum dan HAM
Yasonna Laoly membantah bila pemerintah disebut memudahkan para narapidana tindak pidana luar biasa, seperti
koruptor serta terorisme mendapat remisi dan pembebasan bersyarat. Dia memastikan bakal ada peraturan turunan jika revisi UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sudah disahkan.
Diketahui, dalam revisi UU Pemasyarakatan, DPR dan pemerintah sepakat memberikan kemudahan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa seperti korupsi dan terorisme.
"Enggaklah, tidak ada, kan ada pengaturan lebih lanjut nanti," kata Yasonna saat ditemui di Kompleks MPR/DPR, Jakarta, Rabu (18/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yasonna menegaskan bahwa pembebasan bersyarat dan remisi merupakan hak yang dimiliki tiap narapidana. Tak terkecuali bagi narapidana koruptor.
Melihat hal itu, ia mengatakan pemerintah akan mengkaji terlebih dulu untuk menyusun peraturan turunan terkait hal tersebut.
"Pokoknya setiap orang punya hak remisi. [pembatasan] Itu melanggar hak asasi. Pembatasan itu melalui 2, pengadilan dan UU," kata Yasonna.
Sama seperti Yasonna, Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu menegaskan bahwa para napi kasus korupsi turut memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh konstitusi. Salah satunya, kata dia, soal pembebasan bersyarat dan remisi.
Ia menyatakan pembatasan hak bagi narapidana koruptor itu hanya boleh dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan.
"Itu berlaku universal dalam UUD (1945) kan begitu, Pasal 28 itu," kata Masinton.
Komisi III DPR dan pemerintah telah menyepakati sejumlah poin dalam revisi UU No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Revisi UU tersebut bakal disahkan dalam waktu dekat melalui rapat paripurna.
Salah satu poin strategis yang disepakati yakni kemudahan pemberian pembebasan bersyarat bagi narapidana kasus kejahatan luar biasa. Misalnya, kasus korupsi dan terorisme.
Jika disahkan nanti, revisi UU Pemasyarakatan bakal meniadakan Peraturan Pemerintah No. 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan. Selanjutnya, PP No. 32 tahun 1999 tentang Pemberian Pembebasan Bersyarat digunakan kembali.
Diketahui, PP Nomor 99 Tahun 2012 mengatur prasyarat pemberian remisi bagi narapidana kasus kejahatan berat. Salah satu syaratnya yakni mau bekerja sama dengan penegak hukum untuk ikut membongkar tindak pidana yang dilakukannya alias bertindak sebagai justice collaborator.
Dalam Pasal 43B ayat (3) PP No 9 tahun 2012 itu mensyaratkan rekomendasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai pertimbangan Dirjen Pemasyarakatan dalam memberikan remisi.
Sedangkan, PP No. 32 Tahun 1999 yang akan kembali dijadikan acuan dalam RUU Pemasyarakatan, tidak mencantumkan persyaratan tersebut. Justru pembebasan bersyarat tergolong lebih mudah didapatkan para napi.
PP No. 32 tahun 1999 hanya menyatakan bahwa remisi bisa diberikan bagi setiap narapidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik.
"Kami berlakukan PP Nomor 32 Tahun 1999 yang berkorelasi dengan KUHP," kata Wakil Ketua Komisi III Erma Manik.
[Gambas:Video CNN] (rzr/bmw)