25 Ribu Orang Teken Petisi Hukum Perusahaan Pembakar Hutan

CNN Indonesia
Rabu, 18 Sep 2019 20:34 WIB
Presiden Jokowi, Polda Riau, dan KLHK dituntut menegakkan hukum dengan tegas kepada perusahaan-perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Riau.
Presiden RI Joko Widodo meninjau penanggulangan karhutla di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, 17 September 2019. (Biro Pers Sekretariat Presiden/Laily Rachev)
Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Kepolisian Daerah Riau, serta Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) dituntut menghukum perusahaan-perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Desakan itu pun muncul lewat petisi yang dibuat dalam laman Change.org bertajuk, Hukum Perusahaan Pembakaran Hutan dan Lahan di Riau. Per pukul 20.11 WIB, Rabu (18/9) petisi tersebut telah ditandatangani 25.404 orang.

Petisi tersebut dibuat Nurul Fitria selaku perwakilan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

'Tanpa adanya penegakan hukum yang baik, perusahaan ini enggak akan jera dan akan terus bakar hutan untuk kepentingan pribadi,' tulis Nurul dalam pengantar petisi situs change.org.

Petisi itu sendiri telah dibuatnya sejak Kamis (12/9) lalu.

Pada 2019, Karhutla tidak hanya terjadi di Riau namun juga di sejumlah provinsi lainnya seperti, Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat. Ia mengatakan dari awal tahun ini setidaknya sudah lebih dari 281 ribu orang di Riau yang menderita ISPA karena asap kebakaran hutan.

'Sampai sekarang, asap masih menghantui keseharian kita,' katanya.

Nurul lebih lanjut menjelaskan dari 1.438 titik panas yang ada di Riau, 40 persennya merupakan lahan yang dimiliki perusahaan. Namun, lanjutnya, Jikalahari mencatat ada 49 perusahaan yang belum ditindak sejak 2014 dan banyak yang rentan korupsi atau ilegal.

'Ironisnya, penegakkan hukum untuk perusahaan yang bikin kebakaran ini belum maksimal. Baru 7 perusahaan yang sebabkan karhutla diproses dan terbukti bersalah,' tutur Nurul.

Petisi Tuntut Hukum Perusahaan Pembakar Hutan Capai 25 RibuDokter memeriksa kondisi kesehatan balita di Posko Kesehatan dan Rumah Singgah Kedap Asap di Pekanbaru, Riau, 18 September 2019. (ANTARA FOTO/Rony Muharrman)

Lebih lanjut, Nurul mengatakan kondisi karhutla mengingatkan dirinya kepada Intan. Intan adalah sepupu Nurul yang lahir pada Mei 2015 dan meninggal dunia 5 bulan setelahnya akibat terdampak karhutla yang mencatat rekor sebagai kebakaran terbesar pada 2015 silam. Oleh karena itu ia mengajak masyarakat untuk menandatangani petisi tersebut agar kejadian serupa yang menimpa Intan tdak terulang lagi.

'Intan akan selalu jadi pengingat dan semangat saya untuk berjuang lawan asap kebakaran hutan,' tulis Nurul.

Kualitas udara Riau saat ini kembali dikategorikan berbahaya lantaran sudah terdampak oleh karhutla yang terjadi sepanjang 2019. Saat memimpin Rapat Terbatas di Pekanbaru pada awal pekan ini, Jokowi menyatakan status Riau sudah siaga darurat.

Hari ini di Jakarta, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo mengatakan polisi telah menetapkan 230 individu dan lima korporasi sebagai tersangka karhutla. Seluruh tersangka itu ditetapkan oleh kepolisian daerah di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

Petisi Tuntut Hukum Perusahaan Pembakar Hutan Capai 25 RibuPresiden RI Joko Widodo meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Merbau, Kecamatan Bunut, Pelalawan, Riau, 17 September 2019. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Kritik Penyegelan Lahan Tanpa Langkah Hukum Tegas

Eksekutif Daerah Walhi Riau Fandi Rahman mengatakan penyegelan terhadap sejumlah lahan-lahan konsesi perusahaan yang diduga menjadi dalang di balik bencana kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan jadi percuma jika tidak ada eksekusi lanjutan.

"Tidak ada eksekusi yang dijalankan pemerintah, dalam hal ini jaksa. Ya walaupun sudah vonis kalau tidak ditindaklanjuti kenapa tidak dilakukan lagi," ujar Fandi Rahman saat ditemui di Sekretariat Nasional Walhi, Jakarta Selatan, Rabu (18/9).

Sebelumnya KLHK sempat mengumumkan telah menyegel 10 lahan perusahaan industri kehutanan dan perkebunan sawit di Riau, salah satunya yang dikelola perusahaan sawit asal Malaysia, PT Adei Plantation and Industry (AP).

Menanggapi hal tersebut Fandi mengingatkan PT Adei sudah sempat divonis terkait kebakaran lahan milik konsesi perusahaan tersebut. Namun, sambungnya, setelah divonis tidak ada konfirmasi bagaimana eksekusi yang dilakukan pemerintah atas vonis tersebut kepada publik.

"Perusahaan ngapain takut, karena tidak diminta pertanggungjawabannya. Tidak dicek dan diaudit mana sih wilayah yang harus dipulihkan," ujar Fandi.

Ia menuding sanksi administratif, perdata maupun pidana dari pemerintah hanya jadi formalitas karena pada akhirnya banyak dalang karhutla dari kalangan korporasi yang sebenarnya sudah pernah terjerat kasus yang sama.

Terkait permasalahan ini Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganjurkan pencabutan izin terhadap lahan-lahan yang menjadi dalang karhutla dilakukan pemerintah.

Petisi Tuntut Hukum Perusahaan Pembakar Hutan Capai 25 RibuSalah satu titik kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Riau, 15 September 2019.(Dok. BNPB)
Di tempat yang sama, Eksekutif Daerah Walhi Jambi Rudiansyah menganjurkan setelah izin lahan dicabut dari korporasi, lahan sebaiknya diberikan kepada masyarakat lewat sejumlah skema.

"Kalau itu (izin lahan) sudah diserahkan ke masyarakat kan ada skema lain yang bisa dilakukan. Misalnya perhutanan sosial, skema hutan desa atau hutan adat. Rakyat yang menjaga secara utuh di situ," kata Rudiansyah.

Menurutnya langkah itu dianggap bisa jadi solusi berdasarkan pengalaman serupa yang ada di Jambi dan Riau.

"Di Jambi ada 49 ribu hektare [lahan], masyarakat berhasil menolak perusahaan HTI dan dijadikan hutan desa, akhirnya tidak terbakar," ujarnya.

Sedangkan di Riau hal serupa juga bisa ditemui di Sungai Tohor. Sungai Tohor merupakan salah satu desa yang berada di Kabupaten Kepulauan Meranti. Pada 2014 kawasan ini sempat mengalami karhutla yang cukup parah. Setelah hak lahan diberikan kepada masyarakat untuk dijadikan lahan pertanian, Sungai Tohor berhasil menanggulangi bencana tersebut dengan baik.

Selain dianggap efektif langkah ini juga disebut bisa memberikan efek jera yang lebih kongkret terhadap pelaku karhutla.

Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional WALHI Yuyun Harmono, Karhutla di Jambi tak hanya didalangi perusahaan perkebunan dan sawit namun juga dari perusahaan restorasi ekosistem.

Izin restorasi yang diberikan pemerintah tujuan awalnya adalah untuk melakukan pemulihan ekosistem di lahan-lahan yang sudah rusak. Namun kenyataannya perusahaan-perusahaan ini justru menimbulkan konflik dengan masyarakat-masyarakat lokal dan tidak mampu menjaga konsesi dari karhutla.

Menanggapi ini pemerintah sempat menyegel satu konsesi perusahaan restorasi ekosistem di Jambi. Yuyun mengatakan penyegelan itu terjadi karena izin restorasi diberikan kepada korporasi. Padahal seharusnya restorasi melibatkan peran serta masyarakat lokal dan adat sebagai garda terdepan.

"Walaupun disebut sebagai restorasi ekosistem, faktanya ini penguasaan lahan oleh korporasi dengan iming-iming dagang karbon dan seterusnya," tuding Yuyun.

(ani, fey/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER