Jalan Berlubang Sejarah Pemberantasan Korupsi di Indonesia

CNN Indonesia
Kamis, 19 Sep 2019 10:52 WIB
KPK dibentuk pada 2003 atas ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian dan kejaksaan, namun kini terjadi pelemahan KPK lewat pemangkasan sejumlah kewenangan.
Aksi 'pemakaman' oleh para pegawai KPK dan pegiat antikorupsi dalam merespons revisi UU KPK dan capim terpilih. (CNN Indonesia/Andry Novelino).

Pembentukan KPK di 2003 itu menjadi jawaban atas kegelisahan masyarakat sejak dulu terhadap korupsi. Seperti diutarakan Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia Fajri Nursyamsi, sudah sejak lama semangat untuk memberantas korupsi sangat tinggi. Suara bulat menginginkan hadirnya lembaga antikorupsi dengan tugas dan wewenang yang jelas.

"Di tengah pemahaman itu dibentuklah lembaga yang salah satu tugasnya bukan hanya memberantas korupsi secara normatif, secara umum, tetapi justru dikhususkan secara birokrasi," kata Fajri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (18/9).

Fajri menilai karakteristik tindak pidana korupsi cukup kompleks.

"Ada rangkaian kegiatan, satu, dia pasti berkelompok, kedua tersistematis, ketiga ini sulit dibongkar karena sifatnya rahasia," kata dia.

Karena itu, Fajri menambahkan segala aturan dibuat dengan satu tujuan yakni memberikan kewenangan yang dapat memperkuat KPK. Satu di antaranya soal penyadapan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penyadapan ini dibutuhkan KPK karena tipikal kasus korupsi tidak sembarang untuk mendapatkan bukti. Beda dengan kasus pidana pencurian atau penjambretan, kepolisian bisa mendapat bukti lewat rekaman CCTV atau keterangan saksi/korban.

"Kalau korupsi tidak begitu. Buktinya sulit didapat. Oleh karena itu, KPK dibekali sebuah sistem yang pertama enggak boleh mundur, kedua dia dibekali teknik-teknik pengambilan bukti yaitu penyadapan," ucap dia.

Dengan kriteria korupsi dan kewenangan yang diberikan, KPK dituntut untuk berhati-hati dalam menentukan status tersangka seseorang. Maka dari itu, KPK tidak memiliki penghentian penanganan perkara atau SP3.

Karena dibebankan dengan pembuktian yang tidak main-main--karena jika tak kuat bisa dipatahkan--, maka ketiadaan SP3 di KPK untuk menjaga kualitas dari penyelidikan dan penyidikan.

"Ketika secara psikologis dan pemahaman, 'ini saya enggak bisa hentikan penuntutan nih', jadi apa yang terjadi? Jadi, kualitas dari penetapan tersangka itu tinggi. Nah, itu yang diharapkan," ujarnya lagi.

Selain lewat aturan teknis, penguatan KPK juga diatur dengan status pegawai yang bukan aparatur sipil negara (ASN). Fajri berujar hal itu dilakukan agar tidak terbentuk ikatan dengan segala peraturan yang dibuat pimpinan politik, dalam hal ini menteri yang merupakan bagian dari birokrasi.

"Nah, pemikiran inilah yang ingin dihindari sehingga KPK diberi kewenangan oleh UU untuk mengelola pegawainya sendiri. Diharapkan bisa dibangun integritas, sistem kepegawaian yang rentang kendalinya enggak panjang dari pimpinannya," ujar dia.

Namun, paradigma atau cara berpikir tentang pemberantasan korupsi sejak pertama berdiri mengalami pergeseran. Kewenangan KPK justru malah dipangkas.

Menurut Fajri, tidak sulit untuk mengatakan telah terjadi pelemahan pada KPK sekarang ini, lantaran banyaknya penyelenggara negara yang telah menjadi tersangka, ditahan, diadili lalu menjadi terpidana kasus korupsi.

Berdasarkan catatan KPK hingga Juni 2019, pejabat publik yang tersandung kasus korupsi dari unsur DPR dan DPRD sebanyak 255 perkara. Kemudian lebih dari 110 perkara menyeret kepala daerah, yang sebagian besarnya merupakan orang partai politik.

"Kalau saya menilai, dulu pembentuk UU itu risih dengan tipikor karena merugikan mereka, merasa itu harus dibersihkan dan lain-lain," ujarnya.

"Tapi kalau kita lihat yang sekarang, karena sudah banyak tersangka atau terpidana yang diperkarakan oleh KPK dan itu ada di ring kekuasaan legislatif, itu justru memengaruhi bentuk kebijakan yang akhirnya menjadikan RUU KPK kemarin (disahkan)," kata Fajri.

(ryn/osc)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER