Palembang, CNN Indonesia -- Lembaga Bantuan Hukum Palembang, Jaringan Advokat, beserta Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatra Selatan bakal melaporkan jajaran
Polda Sumsel. Hal ini terkait tindakan
represif aparat saat mengawal unjuk rasa ribuan mahasiswa di depan Gedung DPRD Sumsel, Selasa (24/9).
Praktisi Jaringan Advokat Dhaby K. Gumayra mengatakan tindakan represif yang dilakukan aparat saat mengawal unjuk rasa kemarin berdampak buruk bagi kegiatan menyuarakan pendapat di muka umum. Padahal menggelar aksi menyuarakan pendapat sudah menjadi warisan reformasi.
Pihaknya pun membuka posko pengaduan kekerasan aparatur negara terhadap mahasiswa yang pada saat unjuk rasa kemarin menjadi korban. Timnya juga akan mendampingi mereka untuk mendapatkan keadilan atas tindakan represif tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Lebih dari 100 advokat bersedia menjadi relawan untuk mahasiswa yang terkena dampak kekerasan pada unjuk rasa kemarin. Kita kumpulkan bukti-bukti, pengaduan dari para korban, nanti akan kita laporkan langsung ke Komnas HAM dan Kompolnas," ujar Dhaby, Rabu (25/9).
Berdasarkan informasi dan data yang sudah dikumpulkan pihaknya, Dhaby mengatakan indikasi tindakan represif bermula dari tindakan aparat, bukan dari massa aksi yang bersikap vandalis dan memaksa menerobos aparat yang berjaga di depan Gedung DPRD pada saat pelantikan tersebut.
"Dari hasil
assessment massa aksi, dokumen video dan foto, massa aksi tidak membahayakan yang harus ditindak dengan upaya represif. Justru indikasinya, dimulai dari aparat," katanya.
Dhaby mengungkapkan pihaknya tidak menuding salah satu instansi dalam kericuhan yang terjadi pada aksi unjuk rasa tersebut. Namun aksi berujung bentrok itu, polisi sebagai aparat keamanan gagal dalam melakukan tugasnya untuk menjaga dan melindungi masyarakat.
"Kami tidak bilang kalau pelaku [penganiayaan] kemarin hanya ada di aparat, namun ada indikasinya ke situ. Kita butuh pendalaman dari pengakuan para korban nantinya yang mengadu ke kami. Negara gagal melindungi warga negara untuk menyuarakan pendapat apabila ada kekerasan yang terjadi. Ada dugaan negara melakukan kekerasan atau lalai," jelas dia.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel M Hairul Sobri berujar, berdasarkan data yang diperoleh pihaknya, terdapat 49 korban pascaaksi unjuk rasa berakhir ricuh di depan Gedung DPRD Sumsel kemarin. Rinciannya, 28 dirawat di RS RK Charitas, 8 korban di RS AK Gani, sementara 13 lainnya di RS Muhammadiyah Palembang. Pihaknya sudah resmi membuka posko aduan tersebut untuk para korban yang mengalami kekerasan dari tindak represif aparat.
"Posko baru efektif kita buka pagi tadi. Tadi malam sudah ada yang melapor secara lisan tapi belum diperiksa lebih dalam. Saat ini kita masih mendata dan menyiapkan form dengan detail kronologi peristiwa serta terluka di bagian mana, dan pelakunya siapa," kata dia.
Diketahui Sebanyak 3 orang mahasiswa yang menjadi korban unjuk rasa menolak RKUHP di Palembang dirawat di 2 rumah sakit yang berbeda hingga Rabu (25/9). Tiga mahasiswa yang masih menjalani perawatan tersebut yakni Puspa, mahasiswi Universitas Sriwijaya yang dirawat di RS RK Charitas Palembang, serta Padi mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang dan Desi Pratiwi mahasiswi Stisipol Candradimuka Palembang dirawat di RS AK Gani.
Mereka kebanyakan menjadi korban akibat terinjak massa yang berlari menyelamatkan diri saat bentrokan dengan aparat terjadi. Puspa mengaku, saat bentrokan terjadi, dirinya berada di tengah kerumunan. Polisi menembakkan gas air mata yang memaksa massa mahasiswa berlari menyelamatkan diri.
Saat situasi menjadi kacau, Puspa pun ikut menyelamatkan diri namun pakaian gamis panjang yang dikenakannya terinjak sehingga dirinya terjatuh. Saat terjatuh, dirinya merasa banyak orang yang menginjaknya hingga tidak sadarkan diri.
"Saya pingsan, bangun sudah ada di rumah sakit diinfus. Waktu bangun terasa lemas dan badan sakit-sakit," kata Puspa.
Serupa, Padri dan Desi pun dibawa ke rumah sakit setelah mengalami sesak napas dan muntah-muntah akibat menghirup asap gas air mata.
Humas RS RK Charitas Palembang Krisna Tuti mengatakan pihaknya menangani 29 pasien yang merupakan korban dari ricuhnya unjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumsel kemarin. Namun 28 diantaranya hanya rawat jalan. Sementara Puspa diberikan rawat inap karena kondisinya yang memerlukan penanganan lebihi lanjut
"Kondisinya lemas dan saat diperiksa perlu penanganan lebih lanjut makanya dirawat inap. Kalau yang lainnya sebagian besar hanya luka lecet-lecet saja," kata Krisna.
Terpisah, Kabid Humas Polda Sumsel Komisaris Besar Supriadi membantah ada korban unjuk rasa dari pihak mahasiswa yang dirawat inap di rumah sakit. Dirinya membenarkan ada puluhan orang yang dibawa ke rumah sakit karena dampak bentrokan yang terjadi saat unjuk rasa. Namun seluruh korban sudah dipulangkan oleh dokter karena tidak mengalami luka parah.
"Enggak ada [yang dirawat]. Semuanya sudah dipulangkan kemarin malam. Sudah dicek oleh rumah sakit, dinyatakan sehat dan dipulangkan. Jadi tidak ada mahasiswa yang dirawat inap atau berobat. Semua sudah kembali," kata Supriadi.
Supriadi pun mempersilakan masyarakat untuk melaporkan peristiwa kemarin ke Komnas HAM dan Kompolnas. Ia lalu menyatakan sebetulnya ada dua kubu massa mahasiswa yang berseberangan dalam aksi kemarin. Dua kubu massa mahasiswa tersebut yakni mahasiswa UIN Raden Fatah Palembang dengan mahasiswa aliansi gabungan BEM Sumsel lainnya.
Supriadi mengatakan lemparan batu yang memicu terjadinya kericuhan kemarin berasal dari satu kelompok mahasiswa ke massa mahasiswa lainnya. Supriadi tidak bisa memastikan kubu mana yang pertama kali melemparkan batu.
"Jadi bentroknya antarmahasiswa, bukan sama petugas. Karena ada tumburan dua massa itu, petugas masuk ke tengah untuk memecah kericuhan, polisi melerai. Enggak ada bentrokan antara polisi dan mahasiswa," ujar Supriadi, Rabu (25/9).
Akibat melerai bentrokan tersebut, Supriadi mengungkapkan, tiga polisi terluka.
"Tidak ada yang dirawat inap, hanya rawat jalan saja," kata dia.
Pihaknya mengaku belum mendapati indikasi adanya penumpang gelap yang menyebabkan terjadinya kericuhan saat unjuk rasa kemarin. Namun pihaknya menegaskan upaya represif seperti menembakkan gas air mata dan meriam air sudah sesuai prosedur.
"Semua sudah sesuai SOP. Saat massa ricuh, sudah kita imbau untuk tenang dan membubarkan diri. Tidak dihiraukan, kita tembakan gas air mata. Masih tidak didengar juga, kita tembakan meriam air. Tapi karena hujan turun, akhirnya massa bubar juga dan situasi kondusif," kata dia.
[Gambas:Video CNN] (idz/pmg)