Jakarta, CNN Indonesia -- Aksi
walk out Fraksi
NasDem dan
PPP gagal menjegal pengesahan revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (
UU MD3) menjadi undang-undang. Sisa anggota dewan yang hadir di ruang Rapat Paripurna, 12 Februari 2018 tetap mengesahkan RUU kontroversial itu.
Tepuk tangan memenuhi ruang sidang tak lama setelah pimpinan sidang, Fadli Zon, mengetuk palu tanda RUU MD3 sah menjadi UU.
Ruang sidang seolah kedap dari kritik terhadap sejumlah pasal yang berasal dari internal DPR sendiri maupun masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari sejumlah pasal kontroversial yang dikritik adalah pasal yang memuat penambahan kursi pimpinan DPR dan MPR. Lalu pasal yang menyatakan DPR tidak bisa dipanggil aparat penegak hukum terkait kasus pidana tanpa izin presiden.
UU MD3 kala itu turut mencantumkan beleid pemanggilan paksa melalui kepolisian kepada orang, kelompok, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dewan.
Ketua DPR Bambang Soesatyo salah satu politikus terdepan yang membela sejumlah pasal kontroversial dalam UU MD3.
Dengan nada tinggi Bambang menegaskan pasal-pasal itu dibutuhkan agar DPR dapat menjalankan tugas pengawasan dengan efektif.
"Tidak ada yang namanya itu anggota DPR jadi kebal hukum, tidak ada. Tidak ada UU MD3 merusak demokrasi. Tidak ada UU MD3 kemudian sewenang-wenang upaya pemanggilan paksa," kata Bamsoet, sapaannya, menangkis kritik masyarakat.
Sementara NasDem yang bersikap menolak kala itu
mengibaratkan UU MD3 dengan 'kerupuk'. Rapuh, karena ditolak masyarakat luas.
"UU ini rapuh seperti kerupuk karena tidak ditandatangani presiden dan ditolak oleh rakyat," kata Teuku Taufiqulhadi, anggota Fraksi NasDem di Komisi III.
Perjalanan UU MD3 yang sarat pasal kontroversial pun sudah bisa ditebak.
Hanya tiga bulan setelah disahkan, masyarakat sipil menggugat lewat mekanisme
judicial review ke Mahkamah Konstitusi, Mei 2018. Hasilnya keluar Juni. MK memutuskan membatalkan dua pasal kontroversial dalam UU MD3.
Pasal pertama adalah pasal 73 yang memungkinkan DPR melakukan panggilan paksa kepada setiap orang yang tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah.
Pasal berikutnya yang dibatalkan adalah pasal 122 huruf k yang memberi kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dibuat berang. Dia menilai putusan MK telah melemahkan pengawasan DPR. Di sisi lain, Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) menyebutnya sebagai cermin persoalan dalam kualitas produk legislasi DPR.
Undang-undang yang nasibnya tak jauh berbeda adalah Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Riset dari Kode Inisiatif menyebut ada 28 gugatan yang dilayangkan pelbagai elemen masyarakat terkait UU Pemilu.
Beleid kontroversial dalam UU itu diantaranya soal penataan daerah pemilihan DPR, sistem pemilu, metode konversi suara, ambang batas parlemen (parliamentary threshold), ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) serta verifikasi partai politik.
Dua poin terakhir menjadi sasaran gugatan paling banyak. Dari puluhan gugatan itu MK mengabulkan gugatan yang mengatur verifikasi partai politik untuk pemilu pada Januari 2018.
Ada puluhan produk legislasi DPR lain yang gugatannya dikabulkan MK. Data Formappi, sepanjang 2014-2019 ada 46 UU yang dikabulkan oleh MK.
"Jumlah ini tentu tak sebanding dengan jumlah perkara yang diajukan ke MK. Akan tetapi dengan catatan jumlah ini saja, kita bisa mengatakan bahwa ada persoalan dalam hal kualitas legislasi DPR," kata peneliti Formappi, Lucius Karus.
Yang tak kalah menarik, Formappi mencatat UU MD3 sudah mengalami tiga kali revisi dalam kurun 2014-2019.
Revisi pertama pada 5 Desember 2014, diikuti revisi 12 Februari 2018 dan revisi 16 September 2019. Dan semua revisi itu menyangkut pasal yang terkait pembagian kursi, baik pada alat kelengkapan dewan, kursi pimpinan DPR, hingga kursi pimpinan MPR.
Tak Produktif dan Potensi PemborosanTak hanya soal kualitas legislasi, DPR pun dinilai tak kunjung produktif dalam menyusun peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan laporan tahunannya, DPR telah menetapkan sebanyak 222 Rancangan Undang-undang (RUU) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) periode 2015-2019.
Daftar tersebut terdiri atas 189 RUU -55 diantaranya adalah RUU prioritas- dan 33 RUU lain yang bersifat Kumulatif.
Riset yang dilakukan Formappi per September 2019, DPR hanya mampu mengesahkan 35 RUU Prolegnas prioritas dari total target Prolegnas. Jumlah itu sudah termasuk penetapan Perppu menjadi UU.
Jika dirata-rata, data Formappi menunjukkan DPR hanya bisa menyelesaikan tujuh pembahasan UU atau revisi UU setiap tahunnya. Jumlah itu tentunya di luar RUU Kumulatif yang sudah disahkan.
Pada 2015, misalnya, Formappi mencatat DPR hanya mengesahkan hanya tiga UU dari 40 RUU prioritas yakni UU Pemerintahan Daerah, UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan UU Tipikor.
Tahun berikutnya mengalami kenaikan. Setidaknya ada 10 UU yang disahkan dari 51 RUU prioritas. Salah satunya adalah UU ITE.
[Gambas:Video CNN]Kerja legislasi DPR kembali melorot pada 2017. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat DPR hanya mengesahkan 6 UU dari total 52 RUU prioritas.
Pada 2019, DPR terkesan mengebut berbagai pembahasan RUU yang belum diketok sebelum berakhirnya masa jabatan di September 2019. Tercatat sebanyak 10 RUU disahkan jadi UU, dari total 55 RUU Prioritas. UU yang disahkan pun sangat kontroversial seperti UU KPK, revisi ketiga atas UU MD3 hingga UU Pesantren.
Jika dibandingkan, anggota dewan sebelumnya periode 2009-2014 mampu menghasilkan rata-rata 10 UU per tahun. Artinya, kinerja DPR 2014-2019 bila diukur dari capaian legislasi menurun hampir 50 persen.
Fahri Hamzah mengingatkan kinerja DPR tak bisa dilihat dari sisi kuantitas produk legislasi semata. Sebab, kata dia, kerja-kerja DPR bersifat politis karena berdasarkan aspirasi masyarakat.
"Semua basisnya adalah aspirasi. Kadang-kadang setuju kadang-kadang tidak setuju, maka tidak ada di dunia itu basis penilaian kita kepada legislasi, pada jumlah, tapi kualitas daripada aspirasi yang ditampung dalam proses kinerja," kata Fahri saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com.
Fahri tak menampik cukup banyak produk legislasi DPR yang digugat masyarakat ke MK. Namun dia tetap berkeyakinan gugatan yang dikabulkan MK tak mencerminkan kualitas legislasi.
"Saya pikir normal aja, itulah dinamikanya. Makanya, kinerjanya sulit dinilai bukan karena dia kalah di MK lalu kemudian undang-undangnya enggak lulus. Bukan," kata Fahri.
Dia menyebut MK bukan lembaga penilai UU secara akademik. MK adalah lembaga yang menjaga konstitusi.
"Jadi kalau dianggap ada undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi ya dia kalahkan. Saya kita itu tugas dia," ujarnya.
(bersambung ke halaman selanjutnya: "Potensi Pemborosan Anggaran"...)
Produk legislasi yang sedikit dengan kualitas yang patut dipertanyakan, membuat DPR dinilai menghambur-hamburkan uang negara.
Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mencatat jumlah anggaran untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp1,6 triliun selama 2015-2019. Jumlah itu berarti anggaran DPR di bidang legislasi rata-rata sekitar Rp320 miliar per tahun.
Soal potensi kerugian negara ini, Fitra mencontohkan anggaran pelaksanaan fungsi legislasi DPR pada 2018 yang mencapai Rp385 miliar.
Dari total anggaran itu sekitar Rp307.1 miliar didistribusikan untuk 50 RUU prioritas yang dicanangkan. Jadi, masing-masing RUU pada 2018 lalu mendapatkan Rp3,8 miliar.
Alokasi lain dianggarkan untuk penyediaan dukungan Keahlian Fungsi Dewan atau anggaran staf ahli dan anggaran pembahasan RUU.
Faktanya, anggaran jumbo untuk legislasi tidak dibarengi dengan meningkatnya RUU yang disahkan. DPR hanya mengesahkan 6 UU dari 50 RUU Prolegnas 2018.
Artinya, DPR diduga berpotensi memboroskan anggaran negara sebanyak Rp284,3 miliar karena ada 44 RUU prioritas tak kunjung disahkan pada 2018.
"Nah ini kalau kita komparasi dengan anggaran yang begitu besar, ini jadi sia-sia. Itu bisa diindikasikan sebagai pemborosan," kata Sekjen Fitra Misbah Hasan kepada
CNNIndonesia.com.
Misbah menuturkan idealnya pembahasan RUU bisa diselesaikan dalam kurun waktu tiga kali masa persidangan.
Di sisi lain, berdasarkan catatan
CNNIndonesia.com, setidaknya ada 14 RUU yang terus-menerus masuk Prolegnas prioritas selama lima tahun berturut-turut namun tak kunjung disahkan. Beberapa diantaranya adalah RUU KUHP hingga RUU-PKS.
"Karena sudah pembahasan tapi enggak pernah ditetapkan. Ini harusnya jadi catatan BPK, apakah ada penyimpangan keuangan di situ berarti dapat beban anggaran tiap tahunnya," kata Misbah.
Misbah menambahkan seharusnya ada sanksi untuk DPR secara kelembagaan dari pihak ketiga, seperti Kementerian Keuangan ataupun BPK bila target Prolegnas tak tercapai.
Ia juga berharap ada sanksi pemotongan tunjangan bagi para anggota dewan yang tak mampu menyelesaikan target Prolegnas prioritas tersebut.
"Karena ini seperti dimain-mainkan oleh anggota dewan," kata Misbah.
Sekjen DPR Indra Iskandar membantah tudingan DPR menghambur-hamburkan uang negara dalam tiap pembahasan RUU. Ia menyatakan bahwa pihak Setjen tak pernah mengeluarkan sepeser pun anggaran legislasi DPR sebelum sebuah RUU disahkan menjadi UU.
"Nah, tapi kalau RUU-nya enggak terbahas dan enggak selesai itu enggak bisa dikeluarkan [anggarannya]. Itu aturannya," kata Indra kepada
CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, Indra menyebut tiap tahun anggaran DPR di bidang legislasi pasti mengalami SiLPA atau ada Sisa Lebih Perhitungan Anggaran saat diaudit BPK. Hal itu disebabkan karena banyak RUU yang tak mampu disahkan oleh para anggota Dewan sementara anggarannya sudah disiapkan.
"Jadi sering serapan anggaran DPR berkisar di 90 persen. Nah sisa-sisa itu semacam itu dari situ [anggaran legislasi]. Karena RUU yang tidak selesai itu anggarannya tak bisa dipakai," kata dia.
Indra menegaskan bahwa Kesekjenan DPR hanya akan mencairkan anggaran dengan prasyarat sebuah RUU secara resmi disahkan dalam sidang paripurna DPR.
Dalam anggaran itu terdapat honor 'uang pengganti' kepada para anggota komisi terkait berhasil mengesahkan RUU. Indra bilang nominal honor pengesahan untuk satu UU berjumlah sekitar Rp5-10 juta per anggota.
"Kalau [UU] selesai memang jadi honor. Tapi kalau enggak selesai ya enggak bisa [dicairkan]," kata dia.
[Gambas:Video CNN]Laporan Keuangan DPR sebenarnya tidak ada masalah. Sejak 2014 hingga 2018, DPR selalu mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Tetapi dugaan DPR menghamburkan uang negara tetap sulit dibendung. Dugaan itu sudah berkembang sejak lama di masyarakat.
Atas hal tersebut Indra menyebut ada dilema, khususnya terkait anggaran legislasi. Indra mengatakan DPR memang sedikit menghasilkan UU per tahun. Tapi, DPR tak bisa menutup kemungkinan banyak RUU yang berpotensi diselesaikan.
Hal itu membuat DPR mengusulkan banyak anggaran untuk tiap RUU yang masuk dalam Prolegnas tiap tahunnya.
"Kalau kita tidak anggarkan, kita salah, karena ada proses [RUU] yang berpotensi selesai, lalu kita tidak menyiapkan honornya. Begitu sebaliknya, kita siap honornya tapi enggak selesai. Jadi Silpa," tukas Indra.