Anggaran Ratusan Miliar di Balik Basa-basi Legislasi DPR

CNN Indonesia
Senin, 30 Sep 2019 11:32 WIB
Anggaran ratusan miliar rupiah didistribusikan untuk 50 RUU prioritas pada 2018. Faktanya, DPR hanya mengesahkan 6 UU dari 50 RUU Prolegnas 2018.
Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono
Produk legislasi yang sedikit dengan kualitas yang patut dipertanyakan, membuat DPR dinilai menghambur-hamburkan uang negara.

Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) mencatat jumlah anggaran untuk pelaksanaan fungsi legislasi mencapai Rp1,6 triliun selama 2015-2019. Jumlah itu berarti anggaran DPR di bidang legislasi rata-rata sekitar Rp320 miliar per tahun.

Soal potensi kerugian negara ini, Fitra mencontohkan anggaran pelaksanaan fungsi legislasi DPR pada 2018 yang mencapai Rp385 miliar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari total anggaran itu sekitar Rp307.1 miliar didistribusikan untuk 50 RUU prioritas yang dicanangkan. Jadi, masing-masing RUU pada 2018 lalu mendapatkan Rp3,8 miliar.

Alokasi lain dianggarkan untuk penyediaan dukungan Keahlian Fungsi Dewan atau anggaran staf ahli dan anggaran pembahasan RUU.

Faktanya, anggaran jumbo untuk legislasi tidak dibarengi dengan meningkatnya RUU yang disahkan. DPR hanya mengesahkan 6 UU dari 50 RUU Prolegnas 2018.

Artinya, DPR diduga berpotensi memboroskan anggaran negara sebanyak Rp284,3 miliar karena ada 44 RUU prioritas tak kunjung disahkan pada 2018.

"Nah ini kalau kita komparasi dengan anggaran yang begitu besar, ini jadi sia-sia. Itu bisa diindikasikan sebagai pemborosan," kata Sekjen Fitra Misbah Hasan kepada CNNIndonesia.com.


Misbah menuturkan idealnya pembahasan RUU bisa diselesaikan dalam kurun waktu tiga kali masa persidangan.

Di sisi lain, berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, setidaknya ada 14 RUU yang terus-menerus masuk Prolegnas prioritas selama lima tahun berturut-turut namun tak kunjung disahkan. Beberapa diantaranya adalah RUU KUHP hingga RUU-PKS.

"Karena sudah pembahasan tapi enggak pernah ditetapkan. Ini harusnya jadi catatan BPK, apakah ada penyimpangan keuangan di situ berarti dapat beban anggaran tiap tahunnya," kata Misbah.

Misbah menambahkan seharusnya ada sanksi untuk DPR secara kelembagaan dari pihak ketiga, seperti Kementerian Keuangan ataupun BPK bila target Prolegnas tak tercapai.

Ia juga berharap ada sanksi pemotongan tunjangan bagi para anggota dewan yang tak mampu menyelesaikan target Prolegnas prioritas tersebut.

"Karena ini seperti dimain-mainkan oleh anggota dewan," kata Misbah.


Sekjen DPR Indra Iskandar membantah tudingan DPR menghambur-hamburkan uang negara dalam tiap pembahasan RUU. Ia menyatakan bahwa pihak Setjen tak pernah mengeluarkan sepeser pun anggaran legislasi DPR sebelum sebuah RUU disahkan menjadi UU.

"Nah, tapi kalau RUU-nya enggak terbahas dan enggak selesai itu enggak bisa dikeluarkan [anggarannya]. Itu aturannya," kata Indra kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut, Indra menyebut tiap tahun anggaran DPR di bidang legislasi pasti mengalami SiLPA atau ada Sisa Lebih Perhitungan Anggaran saat diaudit BPK. Hal itu disebabkan karena banyak RUU yang tak mampu disahkan oleh para anggota Dewan sementara anggarannya sudah disiapkan.

"Jadi sering serapan anggaran DPR berkisar di 90 persen. Nah sisa-sisa itu semacam itu dari situ [anggaran legislasi]. Karena RUU yang tidak selesai itu anggarannya tak bisa dipakai," kata dia.


Indra menegaskan bahwa Kesekjenan DPR hanya akan mencairkan anggaran dengan prasyarat sebuah RUU secara resmi disahkan dalam sidang paripurna DPR.

Dalam anggaran itu terdapat honor 'uang pengganti' kepada para anggota komisi terkait berhasil mengesahkan RUU. Indra bilang nominal honor pengesahan untuk satu UU berjumlah sekitar Rp5-10 juta per anggota.

"Kalau [UU] selesai memang jadi honor. Tapi kalau enggak selesai ya enggak bisa [dicairkan]," kata dia.



Laporan Keuangan DPR sebenarnya tidak ada masalah. Sejak 2014 hingga 2018, DPR selalu mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian dari BPK. Tetapi dugaan DPR menghamburkan uang negara tetap sulit dibendung. Dugaan itu sudah berkembang sejak lama di masyarakat.

Atas hal tersebut Indra menyebut ada dilema, khususnya terkait anggaran legislasi. Indra mengatakan DPR memang sedikit menghasilkan UU per tahun. Tapi, DPR tak bisa menutup kemungkinan banyak RUU yang berpotensi diselesaikan.

Hal itu membuat DPR mengusulkan banyak anggaran untuk tiap RUU yang masuk dalam Prolegnas tiap tahunnya.

"Kalau kita tidak anggarkan, kita salah, karena ada proses [RUU] yang berpotensi selesai, lalu kita tidak menyiapkan honornya. Begitu sebaliknya, kita siap honornya tapi enggak selesai. Jadi Silpa," tukas Indra. (wis)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER