Revisi UU KPK Wajib Diundangkan, WP Singgung soal OTT

CNN Indonesia
Kamis, 17 Okt 2019 04:30 WIB
Sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, tanpa ditandatangani Presiden Jokowi pun perubahan UU KPK wajib diundangkan pada 17 Oktober 2019.
Wadah Pegawai (WP) KPK saat menggelar aksi solidaritas pada Februari 2019. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) kembali mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan perubahan kedua UU KPK yang telah disahkan DPR bersama Pemerintah pada 17 September 2019 lalu.

Sesuai ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan, meskipun belum ditandatangani presiden, uu tersebut akan berlaku setelah 30 hari pascapengesahan di paripurna DPR-pemerintah. Artinya, tanpa ditandatangani Jokowi pun besok UU KPK yang terbaru wajib diundangkan.

Menyikapi belum diterbitkannya Perppu oleh Jokowi, Ketua WP KPK Yudi Purnomo lantas menyinggung kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam dua hari ini. Yudi mengatakan jika UU KPK versi revisi berlaku, kemungkinan besar OTT akan dipersulit bahkan tidak ada lagi. Walhasil, kata dia, pemberantasan korupsi di Indonesia pun menjadi terancam.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita kan melihat bahwa dalam dua hari ini KPK melaksanakan tiga kali OTT. Artinya, koruptor di luar sana bisa membaca KPK akan dilemahkan sehingga mereka melihat ini detik terakhir KPK," ujar Yudi, Jakarta, Rabu (16/10).

"Itulah sebabnya maka kami meminta kepada Bapak Presiden [Jokowi] agar pemberantasan korupsi tetap lanjut--tidak dikebiri, tidak diamputasi--Perppu merupakan jalan agar KPK bisa tetap memberantas korupsi," sambungnya.

Dalam UU KPK versi revisi, terdapat tahapan berlapis untuk melakukan penyadapan yang notabene menjadi senjata utama untuk memulai kegiatan tangkap tangan.

Selain itu, Pasal 6 huruf a yang berbunyi KPK bertugas melakukan tindakan-tindakan pencegahan sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi berisiko disalahartikan. Sejumlah politisi bahkan menilai KPK mestinya memperingatkan para pejabat yang diketahui akan menerima suap, bukan melakukan OTT.

Dalam analisis internal, KPK sendiri telah menemukan setidaknya 26 persoalan dalam RUU tentang Perubahan Kedua UU KPK yang berisiko memperlemah kerja lembaga antirasuah tersebut.

Di antaranya ialah pelemahan independensi KPK dengan diletakkannya KPK sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif dan pegawai KPK merupakan ASN; pembentukan Dewan pengawas yang memiliki kewenangan melebihi Pimpinan; hingga Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan.

"Belum soal struktur kepegawaian KPK, belum lagi posisi Pimpinan yang bukan penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Nanti siapa misalnya yang tanda tangan sprindik, menetapkan tersangka? Itu kan beberapa poinnya," tutur Yudi.

[Gambas:Video CNN]
Apabila Jokowi abai terhadap persoalan di atas, Yudi memandang koruptor mendapatkan keuntungan.

"Jika Perppu tidak keluar, akan ada kegamangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Dan tentu saja yang paling diuntungkan dari situasi yang tidak mengenakan ini koruptor," katanya.

(ryn/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER