Baleg DPR: Omnibus Law Harus Sederhanakan 74 UU

CNN Indonesia
Selasa, 05 Nov 2019 21:42 WIB
Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan ada sejumlah persoalan yang harus segera disikapi pemerintah terkait wacana penyatuan UU atau Omnibus Law.
Suasana ruang rapat paripurna di DPR RI. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Willy Aditya mengatakan ada sejumlah persoalan yang harus segera disikapi pemerintah terkait wacana penyatuan UU atau Omnibus Law.

"Di Baleg sendiri banyak hal yang kami diskusikan, masalah Omnibus Law ini adalah mungkin sekitar 74 undang-undang yang harus disederhanakan," kata Willy dalam diskusi di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/11).

Lebih rinci, Willy menerangkan setidaknya ada sebanyak 22 UU di antaranya berhubungan dengan ketenagakerjaan, sekitar 20 UU berhubungan dengan investasi yang harus disatukan, dan beberapa regulasi tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Itu semua, kata Willy, harus diharmonisasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ada banyak peraturan perundang-undangan yang mungkin satu sama lain yang tidak harmonis," ujar politikus NasDem tersebut.

Willy menilai dalam mewujudkan upaya Omnibus Law bukan hanya sekedar menyederhanakan jumlah undang-undang namun sejauh mana penyatuan UU itu harmonis menjadi sebuah produk legislasi.

Omnibus Law muncul dalam pidato kenegaraan pertama Joko Widodo (Jokowi) setelah dilantik menjadi Presiden RI periode 2019-2024 di MPR RI. Kala itu Jokowi mengatakan Omnibus Law dilakukan dengan tujuan mengatasi masalah cipta lapangan kerja, UMKM, dan investasi.

[Gambas:Video CNN]
Sementara itu, seperti dilansir Antara, anggota Baleg DPR RI dari Fraksi Golkar, Christina Aryani menilai selama ini badannya mendapatkan sorotan karena dinilai kurang produktif dalam menghasilkan produk legislasi, dan selalu pertanyaannya terkait kualitas atau kuantitas.

Menyikapi kritik tersebut, Aryani menegaskan produk legislasi yang dihasilkan DPR RI seharusnya mengutamakan kualitas. Sementara itu kalau dinilai dari hal kuantitas, namun berujung pada uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) maka akan dinilai tidak bagus.

"Selama ini kita harus mempunyai acuan, mungkin kita harus lebih realistis, ketika menyusunnya apa yang bisa dicapai dan kita sudah bisa lihat dari selama ini kecenderungannya, asumsi mana yang moderat dan mana yang optimistis," katanya.

Christina menyarankan agar tiap komisi membahas sekitar dua atau tiga RUU dalam satu tahun.

(rzr, antara/kid)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER