Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan
Mahfud MD menyatakan pemerintah serius untuk menerapkan
hukuman mati terhadap koruptor. Hal itu bisa diterapkan tanpa mengubah undang-undang. Namun, kata dia, putusan pengadilan kadang tak sejalan.
"[Aturan hukuman mati itu] sudah masuk di undang-undang, artinya pemerintah serius," kata dia, di kantornya, Jakarta, Selasa (10/12).
"Tapi kan itu urusan hakim. Kadang kala hakimnya malah memutus bebas, kadang kala hukumannya ringan sekali, kadang kala [vonisnya] sudah ringan dipotong lagi. Ya sudah itu, urusan pengadilan. Di luar urusan pemerintah," Mahfud menambahkan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini menyampaikan hukuman mati terhadap koruptor ini sudah diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan aturan ini, koruptor yang bisa dipidana mati ialah yang mengulangi perbuatannya, yang menilap dana bencana alam, dan yang korupsi saat krisis ekonomi dan moneter.
[Gambas:Video CNN]"Sebenarnya kalau mau itu diterapkan tidak perlu undang-undang baru karena perangkat hukum yang tersedia sudah ada," ujar Mahfud.
Secara pribadi, ia sendiri sepakat dengan hukuman mati terhadap koruptor. Namun, semuanya kembali kepada pihak penuntut dan hakim.
"Iya itu tergantung hakim dan jaksa. Sejak dulu sudah setuju hukuman mati itu. Karena itu merusak nadi, aliran darah sebuah bangsa itu ya dirusak oleh koruptor itu," aku dia.
Sebelumnya, Presiden Jokowi mengatakan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bisa saja diterapkan jika itu merupakan kehendak masyarakat.
Sebelumnya, Indonesia Corruption Watch (ICW) melakukan kajian terkait putusan terhadap koruptor pada 2018. Ditemukan bahwa 79 persen atau 918 terdakwa diputus dengan hukuman ringan (1-4 tahun) pada 2018.
Sebanyak 180 terdakwa (15,4 persen) lainnya dihukum sedang (4-10 tahun); 9 terdakwa (0,77 persen) divonis hukuman berat (lebih dari 10 tahun).
Pemerintah sendiri lewat Kementerian Hukum dan HAM beberapa kali memangkas vonis narapidana kasus korupsi lewat remisi. Selain itu, Presiden Jokowi juga memberi grasi kepada napi kasus korupsi Annas Maamun dengan alasan kondisi kesehatan dan usia.
(jps/arh)