Jakarta, Surabaya, CNN Indonesia -- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nadiem Makarim kembali mengingatkan bahwa kompentensi menghafal tidak diperlukan di masa depan.
Hal itu ia ungkapkan saat memberikan sambutan dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) di Jakarta, Jumat (13/11).
"Menurut saya tantangan masa depan dengan kompleksitas yang tinggi membutuhkan beberapa
core kompetensi. Tidak ada kompetensi menghafal," kata Nadiem.
Dalam hal ini, kata Nadiem, kompetensi yang dibutuhkan masyarakat Indonesia saat ini meliputi kreativitas, kemampuan bekerja sama dan berkolaborasi, berpikir dan memproses informasi secara kritis, mempertanyakan validitas sebuah informasi, pemecahan masalah dan kemampuan berempati.
Selain itu, dalam penyusunan kurikulum, BSNP harus memperhatikan pentingnya pembelajaran tersebut bagi murid.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini apa gunanya, apa dampak positifnya bagi murid kita di masa depan. Nah kalau ternyata jawabannya tidak ada, harus dibuang," ujar dia.
Ia mengatakan agar guru-guru dapat menerjemahkan kurikulum tersebut menjadi sebuah
lesson plan yang baik. Sehingga hal tersebut dapat langsung diaplikasikan terhadap murid yang bahkan memiliki kompetensi rendah.
Dalam acara Rapat Koordinasi Dengan Kepala Dinas Pendidikan Seluruh Indonesia di Hotel Bidakara, Nadiem
Konsep Merdeka Belajar ini terdiri dari empat inisiatif atau empat kebijakan pokok dalam pendidikan Indonesia. Empat hal itu yakni soal membebaskan sekolah untuk menggelar atau melaksanakan USBN, kedua menghapus Ujian Nasional per 2021, Merampingkan RRP untuk para guru dan yang keempat terkait dengan sistem zonasi.
"Karena hanya dengan kemerdekaan lembaga unit pendidikan, hanya dengan kemerdekaan kreativitas para guru, hanya dengan hal itulah pembelajaran dalam kelas bisa terjadi secara keseluruhan," kata Nadiem.
Asesmen Pengganti UN Sebagai Hak AnakTerkait penilaian Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang akan menggantikan Ujian Nasional (UN), Nadiem menegaskan itu adalah upaya memenuhi hak semua anak untuk mendapat pendidikan dengan mutu baik.
"Jadi ini adalah hak. Sesuai ditentukan undang-undang hak semua anak mendapatkan pendidikan dengan mutu yang baik," ujar Nadiem saat memberi sambutan.
Dalam hal ini, Nadiem menganalogikan penyelenggaraan UN dengan pertanyaan-pertanyaan teoritis yang digunakan untuk mengetahui kemampuan murid bak anak ketika diharuskan untuk berenang menyeberang ke pulau. Penerapan itu, baginya, tak praktis karena dalam dunia nyata, anak akan langsung dihadapkan pada dunia nyata yang ia analogikan sebagai lautan.
"Dia ditanya dan dilatih 'tahu enggak gaya katak seperti apa? Tau enggak gaya bebas seperti apa? Air itu apa? Berenang itu apa?' Sedangkan, seharusnya yang dites adalah bisa berenang atau enggak. Langsung diceburin ke dalam laut, bisa berenang atau tidak," ungkap Nadiem.
Sebelumnya, eks bos Gojek itu membeberkan konsep Asesmen Kompetensi Minimum yang menjadi pengganti Ujian Nasional (UN) pada 2021. Konsep berfokus pada kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi). Menurutnya, dua kompetensi dasar tersebut wajib dimiliki oleh setiap individu.
"Topiknya cuma dua. Satu, literasi yaitu kemampuan memahami konsep bacaan, bukan membaca. Kedua, adalah numerasi yaitu bukan kemampuan menghitung, tapi kemampuan mengaplikasikan konsep hitungan di dalam suatu konteks yang abstrak atau yang nyata," kata Nadiem.
[Gambas:Video CNN]Dia pun menyampaikan bahwa penilaian dalam Asesmen Kompetensi Minimum mengacu pada tolok ukur yang termuat dalam Programme for International Student Assessment (PISA) dan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS). Soal-soal dalam Asesmen Kompetensi Minimum, kata Nadiem, akan melahirkan daya analisa berdasarkan suatu informasi, bukan membuat siswa menghafal.
Khofifah Belum Setuju Konsep Penggantian UNGubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa enggan berkomentar mengenai kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, yang bakal mengganti Ujian Nasional (UN) pada 2021 mendatang. Ia menyebut ingin terlebih dahulu menemui beberapa pihak, salah satunya untuk menggali masukan dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), dan pelaku dunia pendidikan.
"Nantilah. Saya ingin ketemu dengan MKKS, saya ingin ketemu dengan stakeholder yang hari ini mengelola pendidikan. Titik ketemunya bagaimana supaya semua bisa berseiring," ujar Khofifah di Surabaya, Kamis (12/12).
Menurutnya, pengelola sekolah, merupakan pihak strategis yang bisa memberikan masukan. Tidak hanya tentang format sistem penentu kelulusan, tetapi juga soal rencana sistem pendidikan tiga hari sekolah.
 Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa. (Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat) |
"Kan tidak hanya soal Ujian Nasional. Tapi soal rencana yang terkomunikasi ke kami, yaitu kemungkinan pelaksanaan sekolah dengan tiga hari masuk dua hari
home schooling. Ini harus dicari format implementasi yang di lapangan seperti apa," ujar Khofifah.
Rencana tiga hari sekolah ini pertama kali diutarakan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi atau akrab disapa Kak Seto. Ia melontarkan usulan pemangkasan waktu sekolah menjadi cukup 3 hari sekolah per minggu saja.
Menanggapi hal itu, Khofifah berpendapat, masih banyak variabel yang dapat menjadi dipertimbangkan. Yakni kondisi sekolah di daerah, harus ditinjau apakah memang sesuai untuk diterapkan aturan tersebut atau tidak. Karena, kata dia, tidak semua siswa berada di lingkungan yang infrastrukturnya mendukung.
"Seperti rumahnya. Kalau di negara di luar itu kan ada ukurannya misalnya anak tiga ukuran minimal rumahnya sekian. Nah kita kan belum mengarah ke sana," kata Khofifah.
(mjo,frd/rea)