Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) khawatir undang-undang
Omnibus Law menjadi alat berlindung korporasi atau pengusaha yang memiliki niat tidak baik. Lembaga antikorupsi meminta pemerintah menjelaskan secara detail rencana penghapus sanksi
pidana bagi pengusaha nakal.
"Jadi saya pikir itu perlu diperjelas agar Omnibus Law ini tidak menjadi alat untuk berlindung korporasi yang punya niat tidak baik. Ini penting," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (19/12).
Syarif menyatakan korporasi maupun pengusaha harus bisa bertanggung jawab secara pidana jika terbukti melanggar. Menurutnya, aturan main itu juga sudah dijalankan sejumlah negara, termasuk Belanda.
"Di mana-mana sekarang (menerapkan pidana korporasi). Dulu belanda saja tidak mengakui, sekarang di KUHP Belanda jelas sekali," ujarnya.
Ia lantas mencontohkan korporasi yang dijerat pidana denda seperti Volkswagen di Amerika Serikat dan Rolls-Royce di Inggris. Untuk Rolls-Royce, kata Syarif, memiliki kaitan dengan kasus korupsi pengadaan di Garuda Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi jangan kita buat hukum yang kembali ke masa kolonial. Kita sudah milenial tapi kembali ke masa kolonial. Saya pikir itu yang ingin saya sampaikan," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebut pemerintah akan mengubah aturan sanksi pidana kepada para pengusaha 'nakal'. Sebagai gantinya, pengusaha nakal hanya akan diberikan sanksi administrasi kalau mereka melanggar aturan.
Penghapusan tersebut rencananya akan dituangkan dalam aturan Omnibus Law yang saat ini sedang dirancang pemerintah. Ia menambahkan penghapusan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk membuat ekosistem usaha lebih kondusif dan nyaman bagi investor.
"Jadi kami melihat untuk berusaha basis hukumnya kita ubah bukan kriminal, tapi administratif. Dan kita sudah melakukan ini di pasar modal perbankan," ujar Airlangga di Jakarta, Rabu (18/12).
(fra/gil)