Janda Satpam Korban Bom Kuningan, Berjuang saat Hamil Tua
Ryan Suhendra | CNN Indonesia
Jumat, 27 Des 2019 10:22 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Keluarga korban teror bom Kedubes Australia pada 2004, Wartini. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Saat mendengar ada ledakan di Kedubes Australia, Wartini buru-buru menuju lokasi. Kendaraan umum kala itu tak ada, beruntung ada tukang ojek yang bersedia mengantarnya. Dia akhirnya mendapatkan kabar dari yayasan yang mempekerjakan suaminya bahwa Syahromi terbaring di RS MMC—tak jauh dari Kedubes Australia yang berada di kawasan Kuningan.
"Saya cari di RS MMC sama teman Bapak berdua, ketemu di lantai 5," kata dia.
Wartini menjelaskan ketika itu keadaan suaminya sangat terpuruk. Kata dia, Syahromi tidak bisa mendengar suara apa pun termasuk dirinya yang sangat peduli terhadap keadaannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Dia tadinya telinganya dua-duanya enggak bisa dengar. Akhirnya dia minta kertas dan pulpen, dia nulis, 'saya enggak bisa dengar, telinga saya dua-duanya enggak bisa dengar orang bicara," cerita Wartini menirukan suaminya.
Syahromi mendapat penanganan dari dokter spesialis THT RS MMC. Ia menjalani perawatan di sana selama satu minggu untuk kemudian dirujuk ke rumah sakit yang berada di Cikini.
"Di sana diperiksa, diteliti, ternyata Bapak gendang telinga, koklea atau rumah siputnya sudah hancur. Bapak di situ sempat shock juga. Akhirnya pasrah. Habis mau gimana," ucap Wartini.
Wartini mengatakan suaminya harus menepi selama sekitar 1-2 bulan sebelum memutuskan untuk kembali bekerja dengan kondisi telinga sebelah kiri tidak bisa mendengar sama sekali, dan harus tetap rutin mengobati luka di RS.
Di tengah kondisinya yang menurun akibat luka ledakan bom Kuningan itu, kata Wartini, suaminya masih menaruh perhatian terhadap teman-teman lain yang juga menjadi korban. Suaminya, terang dia, membentuk Forum Kuningan sebagai wadah untuk memberikan bantuan terhadap pengobatan korban.
Setiap tahunnya, Forum Kuningan diketahui juga selalu menggelar peringatan tragedi bom Kedutaan Besar Australia.
"Dia cuma cerita begini, 'Saya kasian sama korban-korban lain. Nanti gimana kalau berobat. Akhirnya dia ngumpulin teman-teman korban itu, ini gimana ni, kita setelah ini berobat gimana-gimana' Akhirnya bentuklah itu forum. Orang-orang milih Bapak tuh yang jadi ketuanya," tutur Wartini.
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Sucipto Hari Wibowo yang mendampingi Syahromi saat dalam kondisi payah sebelum meninggal mengatakan para korban bom teror tersebut, selain fisik umumnya mengalami sakit saraf. Begitu pun dia, yang juga terkena dampak Bom Kuningan.
"Teman itu ada yang pusing-pusing, koma, lalu enggak ada. Itu karena mereka tak terdiagnosa sebagai korban sebelumnya, atau tak mendapatkan pengobatan sakit saraf yang benar," ujar pria yang karib disapa Cipto itu saat ditemui akhir November lalu.
Pekerja Kedubes Australia membantu proses evakuasi korban bom mobil di luar kawasan diplomatik tersebut, Jakarta, 9 September 2004. (AFP PHOTO/ BAY ISMOYO)
Sebelum meninggal karena sakit pascaledakan, Wartini mengatakan suaminya pernah menyampaikan satu harapannya. Kalimat itu selalu Wartini ingat. Syahromi berkata, "Tin (Wartini), aku mau kita sampai kakek-nenek,"
Akan tetapi harapannya itu pupus karena takdir berkata lain. Setelah berpindah-pindah rumah sakit menjalani pengobatan, Syahromi menutup mata di RS Abdi Waluyo, Jakarta.
Wartini pun emosional. Ia sangat marah terhadap pelaku terorisme. Ia tidak menyangka suaminya, yang notabene sebagai rakyat biasa menjadi korban kekejian teroris.
"Kenapa mesti rakyat-rakyat kecil seperti Bapak gitu yang jadi korban," kata Wartini dengan suara meninggi dari biasanya.
Kebencian itu surut ketika Wartini ditemui sejumlah orang dari Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) dan Aliansi Indonesia Damai (Aida). Ia merasa terbantu dengan dukungan yang diberikan YPI maupun Aida.
Untuk diketahui, YPI merupakan wadah berkumpulnya para korban dan keluarga korban terorisme. Sementara Aida merupakan organisasi yang sejak didirikan memiliki tujuan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai melalui peran korban dan mantan pelaku terorisme.
Ketika ikut program AIDA dan dipertemukan dengan napi terorisme Ali Fauzi, Wartini mengaku sudah bisa mengontrol amarahnya. Pertemuan ini berlangsung di Solo sekitar tahun 2016.
"Tadinya saya ada sempat rasa kesal, ya. Ya, walaupun kesal gimana, walau saya marah, benci sama dia, toh Bapak juga enggak mungkin kembali lagi. Yaudah lah Allah aja Maha Pemaaf, kita sebagai umat manusia masa enggak bisa memaafkan. Apa lagi dia udah bertaubat," kata Wartini.
Selain Ali Fauzi, Wartini mengungkapkan sudah bertemu dengan sejumlah napi terorisme lain yang ia tidak ingat lagi namanya.
Masuknya YPI dan Aida ke dalam kehidupan Wartini memberi dampak positif. Ia pun kini bisa berhubungan atau berkomunikasi dengan para korban maupun keluarga korban ledakan bom, termasuk peristiwa Kedutaan Besar Australia.
Sikap Wartini terhadap terorisme tidak sama seperti anak sulungnya, Sari Novriatin Putri. Meski kepergian Ayahnya tidak membuatnya larut dalam kesedihan berkepanjangan, perbuatan para teroris bagi dia sulit untuk dimaafkan.
"Biasa sih, kuat aja [usai kepergian Bapak] Jadi, ya, gitu, kalau ketemu awas lu ye kalau ketemu balas tuh. Ngapain sih kalau ada masalah sama satu orang, ya udah ketemuin sama orangnya langsung. Enggak usah semua orang dibawa-bawa ibaratnya gitu," kata Putri geregetan.
Teroris sudah mendapatkan cap negatif di kehidupan Putri. Ia pun mengutuk setiap ledakan bom yang terjadi. Termasuk baru-baru ini ketika ada ledakan di Monas. Hingga saat ini, Putri tidak pernah bertemu dengan napi terorisme sebagaimana yang dirasakan Ibunya.
"Saya orangnya kayak gini sebel aja gitu sampai sekarang. Apa lagi ada bom gitu, ngeselin, sebel ih. Kalau diketemuin saya marah-marah kali, ye. Saya kesel, ya, kayak bukan settingan, rasanya kalau ketemu saya pengin gituin rasanya orangnya. Kalau ada yang gitu-gitu kesel, apa lagi sampai diketemuin, aduh kesel," kata dia.