Bandung, CNN Indonesia -- Sebanyak 32 penyandang
tunanetra menggelar aksi protes di depan Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra (BRSPDSN) Wyata Guna, Bandung, Rabu (15/1).
Aksi tersebut sebagai buntut dari polemik perubahan status Wyata Guna yang sebelumnya berfungsi sebagai panti sosial tunanetra kini menjadi balai rehabilitasi.
Pantauan
CNNIndonesia.com, pedemo mendirikan tenda darurat berupa terpal berwarna jingga di halte angkutan depan gedung Wyata Guna. Untuk bagian alasnya, mereka menggunakan karpet seadanya. Tampak para tunanetra duduk hingga berbaring di atas trotoar tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua Forum Akademisi Luar Biasa Rianto mengatakan 32 orang yang berstatus mahasiswa itu diminta pihak BRSPDSN untuk segera keluar dari asrama pada Kamis (9/1). Mereka lantas mendirikan tenda darurat untuk tempat tinggal.
"Kamar dibongkar dan barang-barang dikeluarkan. Terus kamar juga disegel sehingga barang menumpuk di luar pintu," kata Rianto.
Menurutnya, perubahan fungsi panti menjadi balai rehabilitasi menjadi titik mula persoalan. Penghentian layanan yang dilakukan pihak Wyata Guna itu sendiri mengacu pada Peraturan Pemerintah RI Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Pihaknya merasa aturan ini merugikan karena belum ada kepastian terkait solusi atas pengosongan asrama. Kementerian Sosial, kata dia, harusnya mempertimbangkan dampak dan solusi dari pengeluaran penyandang disabilitas dari panti.
"Sampai saat ini belum ada kejelasan dari pemerintah atau dari Wyata Guna apakah kita harus pindah atau apa yang bisa kami lakukan nantinya," ujarnya.
 Spanduk yang dipasang pedemo di depan panti Wyata Guna. ( CNN Indonesia/ Huyogo) |
Salah seorang penyandang disabilitas tunanetra, Elda Fahmi (22) menjelaskan aksi protes di atas trotoar itu dilakukan sejak Selasa (14/1) pukul 19.30 WIB. Alasannya, mereka tak lagi dianggap penghuni panti.
"Pihak balai tidak menerima lagi klien yang menempuh pendidikan formal karena setelah menjadi balai berfungsi sebagai vokasional," ujarnya.
Diketahui, perubahan status Wyata Guna menjadikan puluhan penyandang tunanetra yang masih berstatus mahasiswa itu tidak lagi punya hak untuk tinggal dan menjadi penerima manfaat di kawasan Wyata Guna.
Padahal, sebelumnya seseorang dapat tinggal hingga lima tahun masa studi di perguruan tinggi.
Pihaknya berharap Kementerian Sosial mencabut Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 18 Tahun 2018, terkait dengan beralihnya panti sosial tunanetra menjadi balai rehabilitasi.
"Kami menginginkan Kemensos mencabut Permensos Nomor 18 sebagai dasar keputusan ini dicabut. Serta meminta pengalihan kewenangan Wyata Guna ke pemerintah daerah. Biar nanti mereka yang mengelola," katanya.
Dikutip dari
kemsos.go.id, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Edi Suharto mengatakan pembatasan waktu bagi penyandang disabilitas untuk mendapatkan manfaat terkait dengan tingginya permintaan dari penyandang disabilitas lainnya. Sementara, daya tampung balai rehabilitasi terbatas.
[Gambas:Video CNN]Hal ini dikatakan dalam merespons pertemuan antara Forum Penyelamat Pendidikan Tunanetra dengan Komisi V DPRD Jawa Barat terkait BRSPDSN Wyata Guna, beberapa waktu lalu.
"Penerima manfaat yang selesai menerima layanan rehabilitasi sosial (terminasi), dapat membuka kesempatan bagi calon penerima manfaat berikutnya. Dengan demikian, tercipta kesempatan yang sama untuk memperoleh layanan rehabilitasi sosial," kata Edi, dalam pernyataan yang diunggah pada 7 Juli 2019.
Menurut Edi, terminasi dilakukan setelah sebelumnya melalui serangkaian tahapan, penilaian oleh Pekerja Sosial, dan sosialisasi kepada penerima manfaat dan keluarga.
(hyg/arh)