Kuasa Hukum Minta Cek Medis Usia Kasus Penembakan Nduga

CNN Indonesia
Rabu, 22 Jan 2020 00:51 WIB
Menurut tim kuasa hukum Mispo Dwijangge terdakwa kasus penembakan pekerja di Nduga, Papua, kliennya masih di bawah umur.
Ilustrasi penembakan. (Istockphoto/ra-photos)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tim kuasa hukum Mispo Dwijangge, terdakwa kasus penembakan pekerja PT Istaka Karya di Nduga, Papua, menyatakan, kliennya masih seorang anak di bawah umur yang seharusnya diproses di peradilan pidana anak.

Salah satu kuasa hukum Mispo, Tigor Hutapea, meminta dilakukan pemeriksaan medis terhadap kliennya sebelum sidang selanjutnya digelar.

"Akan sangat relevan apabila dilakukan pemeriksaan medis untuk mengetahui secara pasti usia terdakwa demi proses peradilan yang adil," ujar Tigor saat membacakan eksepsi atau nota keberatan di hadapan majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa (21/1) sore.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Jadwal pembacaan eksepsi kasus Mispo molor dari pukul 11.00 WIB menjadi pukul 17.00 WIB. Menurut keterangan salah satu tim hukum terdakwa hal tersebut karena majelis hakim menangani kasus lain.

Dalam eksepsi itu, Mispo yang mengenakan rompi tahanan oranye, duduk mendengarkan eksepsi didampingi penerjemah bahasa, seorang mahasiswi di Jakarta yang berasal dari Papua.

Persoalan usia ini diajukan karena data diri Mispo dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) surat dakwaan JPU, tercatat lahir pada 1999. Sementara terdakwa tidak memiliki bukti kependudukan dan bukti administratif lain yang menyatakan usianya.

Selain mempersoalkan usia terdakwa, Tigor menyatakan surat dakwaan dengan nomor registrasi DM-35/R.1.16/Eku.1/09/2019 oleh JPU cacat secara formil.

Kuasa hukum mengajukan beberapa keberatan lain, seperti pendampingan hukum yang tidak diberikan kepada terdakwa.

Tigor juga menyebut terdakwa yang tidak bisa berbahasa Indonesia, tidak mendapat pendampingan juru bahasa di tingkat penyidikan.


[Gambas:Video CNN]

Selain itu, tim hukum mempersoalkan pelimpahan sidang dari PN Wamena ke PN Jakarta Pusat dengan alasan keamanan. Menurut tim hukum Mispo, pemindahan pengadilan menyulitkan proses menghadirkan saksi dan penasihat hukum dari Wamena akibat jarak Wamena-Jakarta yang jauh.

"Kami merasa keberatan tidak bisa menghadirkan saksi-saksi yang meringankan MW," ujarnya.

Dalam pembacaan sore itu, JPU tidak memberikan tanggapan lebih. Majelis hakim memutuskan sidang lanjutan digelar pekan depan, Selasa (18/1), di PN Jakarta Pusat.

Ketua hakim juga menyetujui permintaan tim kuasa hukum yang mengajukan kehadiran satu saksi dari masyarakat asli Nduga yang dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia dalam persidangan pekan depan.

"Kalau saudara sudah siap surat dan saksi pada hari itu, dan karena tidak ada tanggapan dari JPU, maka tidak masalah," ujar ketua hakim persidangan.


Kasus Mispo adalah buntut insiden penembakan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018 yang menewaskan puluhan orang. Mispo ditangkap polisi karena diduga terlibat aksi penembakan tersebut.

Jaksa mendakwa Mispo dengan Pasal 340 KUHP JO Pasal 55 Ayat (1), Pasal 338 KUHP JO Pasal 55 Ayat (1), Pasal 351 Ayat (3) KUHP JO Pasal 55 Ayat (1), Pasal 328 KUHP JO Pasal 55 Ayat (1) dan Pasal 333 Ayat (1) KUHP JO Pasal 55 Ayat (1) dengan ancaman hukuman mati. (kha/fea)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER