Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah tiga pekan laporan Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (
KPK) atas dugaan pelanggaran etik
Firli Bahuri dkk 'mengendap' di
Dewan Pengawas. Tidak ada satu pun perkembangan penanganan laporan yang disampaikan Dewan Pengawas kepada publik.
Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap mengatakan selaku pihak pelapor dirinya tidak pernah mendapat informasi dari dewan pengawas mengenai perkembangan laporannya sejak pertemuan dengan lima anggota dewan pengawas. Meskipun begitu, ia mencoba tetap berpikir positif.
"Mungkin Dewas sedang bekerja, kita tunggu saja hasilnya," kata Yudi kepada
CNNIndonesia.com, Jum'at (21/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengkritik sikap tertutup Dewan Pengawas terhadap penanganan laporan yang dilayangkan Wadah Pegawai. Menurut dia, Dewan Pengawas tidak mempertimbangkan KPK sebagai lembaga publik yang dimandatkan undang-undang untuk terbuka dan akuntabel.
Fickar berpendapat, kerja-kerja yang berhubungan dengan KPK-- termasuk kerja Dewan Pengawas-- harus disampaikan secara terbuka kepada publik.
"Karena itu keterbukaan ini akan menjadi ciri dan prinsip bagi aktivitas Dewan Pengawas," kata Fickar melalui pesan tertulis kepada
CNNIndonesia.com, Jum'at (21/2).
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari menyatakan situasi yang terjadi saat ini merupakan implementasi dari UU KPK baru yang 'melahirkan' Dewan Pengawas.
"Sesuai dugaan awal bahwa Dewas akan jadi masalah baru bagi KPK. Peran yang seharusnya dimainkan oleh Dewas menurut undang-undang bahkan tidak dilakukan. Wajar kemudian KPK menjadi kian bermasalah," ucap Feri.
CNNIndonesia.com sudah berupaya menghubungi lima anggota Dewan Pengawas pada 17 Februari 2020 dan 21 Februari 2020 terkait laporan WP ini, namun tidak ada satu pun yang merespons.
 Ketua KPK Firli Bahuri. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Sebelumnya, WP melaporkan Firli Bahuri dkk ke Dewan Pengawas karena menilai terdapat dugaan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur dan berpotensi melanggar etik dari pengembalian penyidik Rossa Purbo Bekti ke Mabes Polri.
Yudi mengungkapkan pengembalian Rossa ke instansi asal tidak sesuai mekanisme aturan yang berlaku. Ia menuturkan masa bakti Rossa di KPK habis pada September 2020. Rossa, kata dia, juga belum menyatakan ingin kembali ke Mabes Polri.
Lebih lanjut, Yudi mengungkapkan pihaknya mengetahui ada dua surat pembatalan penarikan Rossa yang dilayangkan Polri ke KPK sebanyak dua kali, yaitu pada 21 dan 29 Januari 2020. Hal itu, kata dia, memperlihatkan dukungan Polri agar Rossa dapat melanjutkan pekerjaannya di lembaga antirasuah.
Namun hingga pada akhirnya, Firli dkk justru kukuh memulangkan Rossa.
Atas dasar itulah dalam salah satu rekomendasi laporan kepada Dewan Pengawas, WP meminta agar Rossa dipekerjakan kembali di lembaga antirasuah KPK hingga masa dinas kerja selesai, yaitu September 2020.
"Bahwa pengembalian Kompol Rossa Purbo Bekti menimbulkan banyak kejanggalan mengingat tidak ada permintaan sendiri dari Kompol Rossa untuk kembali ke Kepolisian. Masa tugasnya masih panjang hingga 23 September 2020," ujarnya.
Di sisi lain, alih-alih menunggu kepastian dari keputusan Dewan Pengawas, Kompol Rossa telah mengajukan surat keberatan terhadap pimpinan KPK. Surat keberatan diterima Firli dkk pada pada 14 Februari 2020.
Langkah tersebut ditempuh Rossa sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyatakan keputusan mengenai surat keberatan Rossa bakal keluar dalam 10 hari kerja. "Tenggat waktunya 10 hari kalau berdasarkan hukum administrasi. 10 hari setelah surat yang bersangkutan kita terima, itu harus kita jawab," kata Alex kepada wartawan, Kamis (20/2).
[Gambas:Video CNN] (ryn/pmg)