Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota
Komisi III DPR RI Arsul Sani mengkritik keras langkah Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (
Dewas KPK) menghapus nilai religusitas dari kode etik bagi seluruh insan lembaga antirasuah.
Menurutnya, Dewas KPK telah mengabaikan Pancasila, khususnya sila pertama karena kode etik yang tanpa religiusitas
"Dengan menghilangkan nilai religiusitas sebagai nilai etik bagi seluruh pimpinan dan jajaran KPK tersebut, Dewas KPK bisa dianggap telah mengabaikan sila pertama Pancasila dan menganggap agama tidak penting dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi," kata Arsul lewat pesan singkat kepada wartawan, Senin (9/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia juga menilai, Dewas KPK sedang melakukan proses sekularisasi dalam kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (Sekjen PPP) itu menduga Dewas KPK melakukan langkah ini karena alergi dengan berkembangnya isu keberadaan kelompok taliban di tubuh KPK. Namun, menurutnya, alasan itu tidak tepat karena apapun paham keagamaan yang dianut pegawai KPK tidak perlu dipermasalahkan.
"Ini tidak pada tempatnya jadi alasan. Soal berjenggot atau pakai celana cingkrang itu dan paham keagamaan yang dianut oleh kalangan tertentu di KPK itu tidak perlu dipermasalahkan, apalagi dipergunakan sebagai alasan untuk menghilangkan nilai religiusitas," kata Arsul.
Atas dasar itu, Arsul meminta agar Dewas KPK tak mengurusi soal paham keberagamaan, cara berpakaian, atau tampilan fisik pegawai KPK.
"Dewas (seharusnya mengawasi) bagaimana due process of law dalam pemberantasan korupsi itu dijalankan oleh jajaran KPK. Ada tidak tebang pilih, ada tidak limitasi proses hukum, ada tidak pembiaran kasus korupsi yang seharusnya sudah berjalan proses hukumnya tapi mandek," tuturnya.
Senada, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyatakan penghapusan nilai religiusitas dari kode etik KPK terkesan menunjukan Dewas KPK lupa bahwa nilai religiusitas bersumber dari Pancasila.
"Saya khawatir penghilangan nilai religiusitas itu menunjukkan bahwa Dewas KPK saat ini punya
mindset islamophobia. Ada ketakutan bahwa memasukkan religiusitas seolah-olah ada agamisasi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi," kata politikus PKS itu.
Menurutnya, tidak ada kerugian atau keuntungan jika nilai religiusitas masuk dalam kode etik KPK.
Sebelumnya, Dewas KPK telah menyiapkan kode etik baru bagi seluruh insan lembaga antirasuah. Rancangan draf kode etik baru ini akan diajukan ke Kemenkumham.
Terdapat sejumlah perubahan dalam kode etik baru dari aturan yang sebelumnya, seperti nilai-nilai dasar lembaga.
Dalam kode etik sebelumnya, nilai dasar lembaga yakni keadilan, profesional, kepemimpinan, religiusitas, dan integritas. Namun dalam kode etik yang baru, nilai religiusitas diganti dengan nilai sinergi.
 Dewan Pegawas KPK periode 2019-2023 (dari kiri) Syamsuddin Haris, Harjono, Artidjo Alkostar, Tumpak Hatorangan Panggabean dan Albertina Ho. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay) |
KPK: Religiusitas Payung Nilai Dasar LembagaTerpisah, Pelaksana tugas Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, mengatakan religiusitas merupakan pelaksanaan keyakinan beragama yang diyakini kebenarannya berdasarkan kepercayaan masing-masing.
"Nilai religiusitas tersebut KPK cantumkan di dalam mukadimah kode etik dan pedoman perilaku KPK," kata Ali saat dikonfirmasi melalui keterangan tertulis, Senin.
"KPK memandang religiusitas merupakan nilai tertinggi yang memayungi seluruh nilai dasar yang ada dalam kode etik saat ini," sambungnya.
Sebelumnya, Ketua Dewan Pengawas Tumpak Hatorangan Panggabean menjelaskan nilai sinergi ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurutnya, berdasarkan hal ini KPK harus bersinergi dengan penegak hukum lain.
[Gambas:Video CNN]Mengutip laman KPK, perubahan lain dalam kode etik baru ini adalah soal proses sidang pegawai, pimpinan, dan anggota Dewan Pengawas KPK. Nantinya jika terjadi pelanggaran, pegawai dan pimpinan KPK akan disidang oleh Dewan Pengawas KPK. Sedangkan jika anggota Dewan Pengawas KPK yang melakukan pelanggaran maka akan disidang Majelis Kehormatan Kode Etik. Perubahan lainnya adalah kode etik baru ini berlaku bagi seluruh insan KPK.
Anggota Dewan Pengawas KPK Harjono menjelaskan perubahan pemberian sanksi terhadap insan KPK yang melanggar kode etik. Pemberian sanksi diberikan jika insan lembaga antirasuah itu melakukan pelanggaran ringan, sedang dan berat.
Mantan Hakim Konstitusi itu merinci sanksi ringan dimulai dengan teguran lisan dengan masa hukuman minimal satu hingga enam bulan. Kemudian sanksi sedang berupa pemotongan gaji pokok mulai 10 hingga 20 persen dalam kurun waktu enam bulan. Sedangkan sanksi berat minimal yang bisa diterapkan adalah pemotongan gaji pokok 30 persen selama satu tahun dan hukuman maksimal diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai KPK.
(mts, ryn/kid)