DPD: Omnibus Law Ciptaker Jauh dari Semangat Otonomi Daerah

CNN Indonesia
Kamis, 30 Apr 2020 01:30 WIB
Politikus Partai Golkar Yorrys Raweyai memberi sambutan saat konfrensi pers deklrasi calon ketum Partai Golkar  periode 2019-2024 yang diselenggarakan oleh Gerakan Milenial Partai Golkar (Gempar), Jakarta, 18 Juli 2019.
Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai sebut Omnibus Law Ciptaker tak sejalan dengan semangat otonomi daerah. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai menyatakan poin penjelasan dalam draf Rancangan Undang-undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja bertentangan dengan semangat otonomi daerah.

Poin yang dimaksud terkait mengembalikan kewenangan pengambilan keputusan atas pengelolaan kekayaan mulai dari perizinan hingga pembinaan pada tingkat pemerintah pusat.

Yorrys menjelaskan, poin penjelasan ini akan membuat pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten atau kota tidak memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya ekonomi sendiri dan cenderung harus menunggu delegasi tugas dari pemerintah pusat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Hal ini bertolak belakang dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah," ucap Yorrys dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (29/4).

Selanjutnya, Yorrys menyoroti tentang standar upah minimum pekerja yang mengikuti provinsi (UMP). Dalam aturan sebelumnya yakni Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, dia menerangkan, telah diatur bahwa standar yang digunakan menggunakan standar kabupaten atau kota (UMK).

Menurutnya, upah minimum yang berpatokan pada UMP hanya akan menguntungkan kelompok pekerja di daerah tertentu saja, seperti di DKI Jakarta.

"Di daerah lainnya, pekerja akan dirugikan karena UMP di berbagai daerah provinsi lebih rendah dibandingkan standar UMK," tuturnya.

Yorrys juga menyoroti penghapusan ketentuan upah minum sektoral kota dan sektoral kabupaten (UMSK). Menurutnya, langkah penghapusan itu sangat merugikan pekerja mengingat UMSK dibagi berdasarkan sektoral karena upah antar sektor berbeda sesuai dengan beban kerja yang bervariasi.

"Beban kerja sektor manufaktur berbeda dengan beban kerja sektor jasa," ujar Yorrys.

Dia juga menyoroti soal aturan pembayaran upah berdasarkan jam kerja. Yorrys berkata aturan yang dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang mengizinkan pengusaha dapat membayar pekerja berdasarkan jam kerja jika seorang pekerja bekerja kurang dari 40 jam akan membuka peluang bagi pengusaha untuk membayar pekerja lebih murah dari seharusnya.

"Pengusaha dapat mencari celah untuk mengalihkan pembayaran bulanan menjadi pembayaran per jam. Misalnya hanya memperkerjakan pekerja dalam empat hari saja. Sehingga, mekanisme pembayaran berdasarkan jam kerja cenderung akan dipilih para pengusaha," kata Yorrys.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan RUU Ciptaker. Keputusan itu diambil setelah Jokowi bertemu tiga pimpinan serikat buruh yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) di Istana.

Meski begitu, pembahasan RUU Ciptaker masih bergulir di Badan Legislasi DPR RI, sebab dari awal DPR dan pemerintah sudah bersepakat untuk membahas klaster ketenagakerjaan di akhir.

Ketua YLBHI Asfinawati menyebut keputusan Jokowi menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja tak akan membatalkan penyusunan aturan sapu jagat tersebut.

Menurut Asfinawati, Jokowi seharusnya membatalkan seluruh pembahasan RUU Cipta Kerja karena prosesnya cacat hukum dan tak melibatkan masyarakat sipil dari awal perancangan.

"Kami menganggap harus didrop semuanya. Karena pertama dari prosesnya saja sudah cacat hukum, tidak ada masyarakat yang dilibatkan atau bahkan terdampak yang dilibatkan ketika dirumuskan pemerintah," kata Asfinawati saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (29/4). (mts/jun)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER