Jakarta, CNN Indonesia -- Istilah
home sweet home, rumahku istanaku, tampaknya tak berlaku bagi sejumlah pelajar yang terpaksa belajar di rumah selama pandemi
virus corona (Covid-19). Sebut saja Ade asal Jakarta dan Mira, siswi asal Biak, Papua, mengaku stres dengan sistem belajar di rumah yang makin sporadis dan terlalu kaku.
Ade yang baru 16 tahun, seorang siswa kelas 11 SMA di DKI Jakarta mengaku kerap merasa tertekan ketika belajar dari rumah. Ini karena tenggat waktu dan jadwal pembelajaran yang terlalu kaku.
Sejak wabah Covid-19 atau corona merambah DKI Jakarta, ia terpaksa terbiasa dengan kegiatan belajar dari rumah menggunakan fasilitas komunikasi seperti telepon genggam atau laptop.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun jadwal yang tidak fleksibel dan tenggat waktu persiapan belajar yang minim membuat Ade sering merasa stres. Setiap hari guru di sekolahnya menetapkan jadwal belajar yang ketat.
"Metode
online learning yang kita lakukan sekarang guru di sekolah buat jadwal. Dan kadang memberikan tugas-tugas yang mendadak," ceritanya melalui konferensi video, Rabu (6/5).
 Ilustrasi para pelajar mengerjakan tuhas di rumah. (ANTARA FOTO/Maulana Surya) |
Ketika guru sudah menetapkan jadwal, siswa harus hadir dan langsung mengerjakan tugas yang diberikan. Tenggat waktu yang terlalu padat itu, kata Ade, membuat dirinya sulit mempersiapkan materi maupun fasilitas pendukung belajar.
Belum lagi tidak ada komunikasi intensif antara guru dan siswa. Guru, menurut pengakuannya, hanya memberikan tugas tanpa penjelasan. Sehingga ia pun sulit mengerti materi yang seharusnya diajarkan.
Misalnya terjadi pada tugas selama bulan Ramadan. Ade diminta mencatat seluruh kegiatannya dari bangun pagi sampai tidur setiap hari. Termasuk kegiatan ibadah yang dilakukan.
Ia merasa tak bisa melihat tujuan dari tugas tersebut. Ia justru merasa tugas itu mengganggu kegiatan ibadahnya sehari-hari.
"Menurut saya itu mengganggu ketika saya beribadah. Apalagi ketika keluarga tarawih disuruh difoto. Itu saya minta tolong sama siapa?" ungkapnya.
Ade menilai pembelajaran bakal jauh lebih efektif jika guru lebih interaktif dan jadwal yang ditentukan fleksibel. Misalnya dengan menyampaikan rencana pelaksanaan pembelajaran sebelum jam belajar.
"Karena dalam pembelajaran , siswa menyiapkan semua fasilitas sendiri," tuturnya.
Ia juga mengharapkan guru memberi penjelasan terkait materi dan tugas yang disampaikan. Misalnya dengan merekam video pemaparan sebelum memberikan tugas.
Orang Tua Tak Mendukung hingga Kendala JaringanSedangkan Mira (17) siswa berdomisili di Biak, Papua yang baru saja dinyatakan lulus SMA mengaku bosan belajar dari rumah.
Selama kegiatan sekolah dirumahkan ia mengaku sedih karena tak bisa bertemu dengan teman-temannya. Ia pun menganggap orang tua tak suportif dalam kegiatan belajar dari rumah.
"Sistem pembelajaran yang diberikan guru untuk belajar dari rumah ada. Tapi ada kurang perhatian dari orang tua. Kebanyakan orang tua menyuruh kami melakukan pekerjaan rumah dibanding belajar," ceritanya dalam konferensi video yang sama.
Menurut pengakuannya, kondisi belajar dari rumah di Biak kerap terkendala jaringan. Terkadang pembelajaran terputus karena tak ada sinyal.
Untuk itu ia dan teman-temannya harus mencari lokasi strategis di dalam rumah untuk mendapat signal yang kuat.
"Ingin wabah virus corona cepat berlalu, agar bisa kembali berkumpul, belajar. Karena bosan belajar tidak ada teman supaya semangat," ujarnya.
 Seorang siswi kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) melakukan kegiatan belajar mengajar menggunakan internet di Cilangkap, Jakarta Timur. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya) |
Analis kebijakan publik dari Wahana Visi Indonesia, Tira Maya Malino mengatakan pemerintah mesti mempertimbangkan kondisi psikososial anak di tengah wabah corona.
"Di sekolah kita enggak bisa mikir kognitif saja. Kita mau sekolah juga melayani anak secara psikososial, misalnya lewat bimbingan konseling, curhat
online,
support atau kegiatan komunitas [tanpa tatap muka]," ujarnya.
Menurut survei yang dilakukan Wahana Visi Indonesia terhadap 3.000 anak di 30 provinsi pada 2 sampai 21 April, ditemukan pengaruh emosional dalam penerapan pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan jaga jarak selama corona.
Tira mengatakan anak merasa terisolasi dari relasi pertemanan, takut karena adanya wabah, serta bosan dengan situasi di rumah.
Pada beberapa kasus, ketegangan relasi keluarga karena keadaan saat ini juga berdampak pada emosional anak.
Juga didapati kesulitan terhadap metode PJJ yang hanya difokuskan pada pemberian tugas, jadwal yang tidak teratur, dan orang tua yang tak bisa membantu.
Beberapa anak juga mengaku sedih karena kehilangan beberapa kegiatan atau momen di sekolah. Seperti pelaksanaan ujian nasional sampai wisuda kelulusan.
"Banyak yang menamakan diri mereka angkatan yg lulus sebagai angkatan corona, tahun lulusan corona. Itu candaan sesama mereka. tp disisi lain sebenarnya mereka sedih nggak ada UN atau perpisahan," tambahnya.
PJJ dilakukan di sebagian besar daerah sejak penyebaran corona mulai merata di 34 provinsi. Sampai sekarang masih ditemukan beberapa kendala PJJ, mulai dari tugas menumpuk sampai kendala fasilitas.
Survei yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun menyatakan 58 persen anak tidak suka belajar dari rumah.
Federasi Serikat Guru Indonesia mengatakan guru belum mampu merancang PJJ tanpa bimbingan dari Dinas Pendidikan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Surat edaran saja dinilai tidak cukup dijadikan acuan dalam merubah sistem pendidikan menjadi jarak jauh secara masif.
Kemendikbud sendiri menyatakan pihaknya belum merencanakan petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan PJJ untuk tahun ajaran baru.
"Tampaknya saat ini, Kemdikbud belum akan mengeluarkan juklak atau juknis PJJ. Kita mendorong setiap guru dan kepsek untuk melakukan inovasi pembelajaran sesuai dengan kondisi masing-masing daerah," tutur Plt. Direktur Jenderal PAUD, Pendidikan Dasar, dan Menengah Kemendikbud Muhammad Hamid.
Sebelumnya ia mengaku Kemendikbud mulai memikirkan kemungkinan PJJ dilakukan hingga akhir tahun, atau memasuki tahun ajaran 2020/2021.
(bac)
[Gambas:Video CNN]