Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (
PKS) Syahrul Aidi Maazat mengkritik Menteri Perhubungan
Budi Karya Sumadi yang menghapus ketentuan pembatasan penumpang pada transportasi umum dan kendaraan pribadi.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permenhub 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Mencegah Penyebaran Covid-19.
Dia khawatir langkah tersebut juga memicu gelombang kedua pandemi virus corona di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Permenhub ini membuka peluang besar terjadinya gelombang kedua pandemi Covid 19 yang luar biasa," kata Syahrul kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (9/6).
Dia berpendapat langkah Menhub itu dilakukan tanpa referensi yang jelas karena berdasarkar pada rencana penerapan era normal baru atau
new normal yang belum memiliki regulasi jelas hingga saat ini.
Menurutnya, ketidakjelasan rencana penerapan new normal itu kemudian membuat teknis pelaksanaan di tingkat kementerian, termasuk Kementerian Perhubungan menjadi tidak jelas.
"Contoh saja Permenhub ini pada Pasal 14 a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase atau kuantitas pembatasan. Alhasil, nanti akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan, ada yang diperbolehkan ada yang tidak," tutur Syahrul.
Kepadatan kendaraan dan mobilitas warga di kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta, Jumat, 22 Mei 2020. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Syahrul pun mempertanyakan logika berpikir yang ingin dibangun pemerintah dari penerbitan Permenhub Nomor 41/2020 ini. Menurutnya, pemerintah telah menghadapkan masyarakat dengan pandemi virus corona secara langsung.
"Di saat orang disuruh jaga jarak, namun persentase orang berkumpul dalam satu moda transportasi melebihi 70 persen atau tidak dibatasi di beberapa moda. Pertanyaan selanjutnya logika apa yang mau dibangun pemerintah untuk menyelamatkan masyarakatnya?" ungkap dia.
Berangkat dari itu, ia mengimbau pemerintah agar lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan. Menurutnya, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah harus berdasarkan riset.
"Riset dulu baru keluarkan kebijakan, karena persoalan epidemologi tidak bisa memakai perkiraan sepihak yang tidak jelas goal dan standarnya," tutur Syahrul.
Menhub menghapus ketentuan pembatasan penumpang pada transportasi umum dan kendaraan pribadi. Aturan baru ini tertuang dalam Permenhub Nomor 41/2020.
Sebelumnya pada Permenhub 18 Tahun 2020 Pasal 11, 12, 13, dan 14 tercantum pembatasan jumlah penumpang maksimal 50 persen kapasitas untuk mobil penumpang, mobil pribadi, bus penumpang, transportasi sungai, danau, serta penyeberangan, transportasi laut, dan transportasi udara, sementara jumlah penumpang kereta api antara kota --kecuali kereta api luxury-- dibatasi maksimal 65 persen dari kapasitas, penumpang kereta api perkotaan maksimal 35 persen dari kapasitas, dan kereta api lokal maksimal 50 persen.
Namun, pada aturan baru, yaitu pasal 11, 12, 13, dan 14 Permenhub 41 Tahun 2020, Menhub menghapuskan angka kapasitas maksimal dan hanya menyatakan pembatasan jumlah penumpang. Selanjutnya,pada Pasal 14 A disebutkan bahwa pembatasan jumlah penumpang pada sarana transportasi akan ditetapkan oleh Menteri Perhubungan.
Namun, aturan baru tetap mengatur kewajiban jaga jarak fisik (
physical distancing). Aturan baru tersebut diteken oleh Menhub pada 8 Juni 2020 serta mulai diundangkan pada hari yang sama.
(mts/pmg)
[Gambas:Video CNN]