Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menghapus ketentuan batas kapasitas 50 persen
penumpang kendaraan, baik umum maupun pribadi, memasuki masa kenormalan baru pandemi virus corona (Covid-19) di Indonesia. Namun, aturan itu dinilai belum dapat mendongkrak jumlah penumpang, terutama transportasi darat.
Aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan
(Permenhub) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Permenhub 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Mencegah Penyebaran Covid-19.
Di dalamnya, Permenhub yang diteken pada Senin (8/6) itu tak lagi mengatur ketentuan kapasitas 50 persen penumpang, baik kendaraan umum maupun pribadi. Ketentuan pada pasal 11, 12, 13, dan 14, aturan batas kapasitas tak lagi disebutkan secara spesifik, kecuali hanya pembatasan jumlah penumpang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan demikian, ketentuan itu mengubah batas kapasitas penumpang yang diatur Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 sebelumnya. Dalam pasal yang sama, ketentuan batas kapasitas maksimal penumpang kendaraan diatur dengan spesifik.
Seperti, batas kapasitas 50 persen untuk untuk mobil penumpang, mobil pribadi, bus penumpang, transportasi sungai, danau, serta penyeberangan, transportasi laut, dan transportasi udara. Kemudian, batas kapasitas 65 persen hanya untuk penumpang kereta api antarkota, kecuali kereta api luxury. Sementara batas 35 persen untuk kereta api perkotaan.
Menyikapi hal tersebut, pengamat transportasi Azaz Tigor Nainggolan menilai Permenhub tersebut berpotensi menimbulkan kebingungan di tengah masyarakat. Azaz menilai pemerintah saat ini sebaiknya melakukan inovasi baru di bidang transportasi umum dibanding menghapus aturan kapasitas penumpang.
"Kalau sudah ada regulasi sebelumnya yang membatasi perjalanan orang ya sudah itu saja dulu, kemudian dievaluasi," kata Azas saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (9/6).
"Adaptasi itu harus, kita mau memasuki babak baru new normal, tidak hanya menciptakan transportasi publik yang bersih tapi juga adaptasi teknologinya," imbuhnya.
 Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari) |
Azaz menjelaskan, adaptasi teknologi di sektor transportasi bisa dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dengan membuat sekat antarpenumpang.
Sekat itu diharapkan bisa menjaga penumpang agar tetap menjaga jarak (
physical distancing), sekaligus mencegah percikan droplet yang menjadi media pembawa virus corona (Covid-19).
Selain membuat sekat, pemerintah juga perlu memikirkan bagaimana cara supaya udara dalam transportasi publik tetap bersih. Penggunaan pendingin udara (air conditioner) dalam transportasi publik perlu diperbaharui supaya mengalirkan udara yang bersih dan sehat.
"Modifikasi juga enggak cukup hanya jarak [antarpenumpang], tapi juga ada sekat antar penumpang, sistem air conditoner juga menurut saya harus diperbarui," kata Azaz.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pemerintah juga perlu menyederhanakan aturan administratif seperti Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) wilayah DKI Jakarta. Menurutnya SIKM menyulitkan masyarakat yang perlu mobilitas tinggi.
" Usul saya juga dalam sisi administratif menggunakan transortasi publik misalnya tidak perlu menggunakan SIKM, dibuat sistem pengawasan yang tidak menyulitkan masyarakat," ujarnya.
Misalnya, kata dia, dengan membuat paspor khusus perjalanan dalam negeri yang diurus Kemenkes atau Kemenhub.
"Intinya membuat mekanisme dan sistem administratif yang tidak menyulitkan masyarakat tapi tetap mengikuti protokol kesehatan," kata dia.
 Terminal Baranangsiang, Bogor yang terilhat sepi dari penumpang tiba maupun akan berangkat, 9 Juni 2020. (CNNIndonesia/Dhio Faiz) |
Sementara itu, Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Syahrul Aidi Maazat khawatir langkah Menhub tersebut justru malah memicu gelombang kedua pandemi virus corona di Indonesia. Selain itu, dia menilai langkah Menhub itu dilakukan tanpa referensi yang jelas karena berdasarkan pada rencana penerapan era normal baru (
new normal) yang belum memiliki regulasi jelas hingga saat ini.
Menurutnya, ketidakjelasan rencana penerapan
new normal itu kemudian membuat teknis pelaksanaan di tingkat kementerian, termasuk Kementerian Perhubungan menjadi tidak jelas.
"Contoh saja Permenhub ini pada Pasal 14 a mengambil diskresi menteri dengan tidak mencantumkan persentase atau kuantitas pembatasan. Alhasil, nanti akan terjadi kemungkinan diskriminasi penerapan di lapangan, ada yang diperbolehkan ada yang tidak," tutur Syahrul kepada
CNNIndonesia.com, Selasa.
Syahrul pun mempertanyakan logika berpikir yang ingin dibangun pemerintah dari penerbitan Permenhub Nomor 41/2020 ini. Menurutnya, pemerintah telah menghadapkan masyarakat dengan pandemi virus corona secara langsung. Berangkat dari itu, ia mengimbau pemerintah agar lebih arif dan bijaksana dalam mengeluarkan kebijakan.
"Riset dulu baru keluarkan kebijakan, karena persoalan epidemiologi tidak bisa memakai perkiraan sepihak yang tidak jelas
goal dan standarnya," tutur Syahrul.
 Sejumlah penumpang stasiun Bekasi mengantre untuk masuk ke dalam kereta, 8 Juni 2020. (CNN Indonesia/ Michael Josua) |
Untuk diketahui, setelah aturan yang menghapus batasan kapasitas penumpang tersebut diteken Menhub Budi Karya Sumadi, sejumlah perusahaan transportasi umum pun segera melakukan penyesuaian. Salah satunya, PT Garuda Indonesia yang kemarin mengeluarkan aturan baru dengan menaikkan batas kapasitas penumpangnya menjadi 70 persen dari batas maksimal kapasitas.
Respons juga datang dari sejumlah Perusahaan Otobus (PO) antarkota antarprovinsi (AKAP), juga moda kereta termasuk pula untuk layanan komuter di wilayah Jabodetabek. Seperti PT Transjakarta yang menyatakan tetap mengikuti aturan dalam Pergub DKI Jakarta Nomor 51 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Transisi, dan KRL Jabodetabek serta MRT Jakarta yang tetap membatasi penumpang hingga 50 persen.
Namun tak dipungkiri para pengelola transportasi umum dari sektor swasta, aturan tersebut masih menimbulkan dilema di lapangan. Salah satunya diungkap Managing Director PT LORENA Transport dan PT KARINA Transport, Dwi Ryanta Soerbakti.
Menurutnya walau sejumlah aktifitas sudah mulai kembali pulih, namun hal itu tidak sepenuhnya diikuti daya beli masyarakat. Bahkan, kata Dwi, kondisinya bisa lebih buruk jika angka penyebaran pandemi global virus itu terus melonjak.
Ia bahkan memprediksi ketentuan baru soal penghapusan batas maksimal kapasitas dalam Permenhub baru tak akan berdampak signifikan pada peningkatan jumlah penumpang, khususnya untuk transportasi darat.
"Masyarakat juga masih ketakutan akan penularan Virus Corona. Selain itu,
buying power (daya beli) dari masyarakat juga belum pulih," kata Dwi saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Selasa (9/6).
"Jadi ini maju kena, mundur kena, tinggal prioritas pemerintah di mana," ucapnya.
(mln, thr/kid)
[Gambas:Video CNN]