Kini penegakan keadilan dalam kasus penyiraman air keras pada Penyidik KPK Novel Baswedan hanya berada di tangan majelis hakim yang akan memutus perkara itu dalam persidangan di PN Jakarta Utara. Majelis hakim harus dapat melihat kasus secara lebih luas sebelum memutus perkara ini.
"Kalau ini hanya dihukum seperti itu [sesuai tuntutan] dan kemudian diamini oleh hakim, nanti akan mengirim pesan yang salah kepada masyarakat," kata Ferdinand Andi Lolo, seorang Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI).
Pesan itu, kata dia, dapat berupa stigma pemberian keringanan hukuman terhadap para pelaku penyerangan yang melibatkan aparat hukum. Menurutnya hal tersebut mengkhawatirkan karena dapat mengancam penegakan hukum di Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejauh ini, Ferdinand yang memiliki rekam jejak sebagai Jaksa selama 12 tahun ini mengatakan umumnya hakim memberi vonis di antara dua pilihan yakni sesuai tuntutan, atau lebih ringan. Diakui Ferdinand itu tak ada angka statistik pasti yang merujuk perkembangannya, tapi berdasarkan pengalamannya hal tersebut cukup lumrah di dunia peradilan Indonesia.
Meskipun tidak memiliki angka statistik yang pasti, berdasarkan pengalaman pribadi Ferdinand itu lumrah terjadi di pengadilan Indonesia. Oleh sebab itu, dia berharap agar majelis hakim perkara ini bisa melihat secara lebih luas kasus tersebut.
"Waktu saya masih jadi jaksa, aturan umumnya kalau kurang dari 2/3 hukuman yang kami tuntut diputuskan oleh hakim, jaksa wajib banding. Kita lihat di kasus ini berani tidak hakim membuat satu hal yang misalnya menghukum lebih berat," kata dia.
![]() |
Pakar Hukum Pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar juga mengamini perihal kelumrahan dalam peradilan di Indonesia yang memperlihatkan hakim memutus suatu perkara di bawah dari tuntutan JPU. Menurutnya, hakim dalam merumuskan putusannya harus mempertimbangkan hal-hal lain, yakni kepastian hukum, rasa keadilan dalam masyarakat, dan kemanfaatannya ke tengah masyarakat.
Ia pun mengingatkan hakim memiliki kebebasan untuk memutus suatu perkara berdasarkan keyakinannya didasarkan pada alat bukti menurut pasal 183 KUHAP. Sehingga, hakim tetap dapat menerapkan prinsip atau asas ultra vires atau melebihi permintaan yang diajukan pihak penuntut dalam kasus pidana. Meskipun, kata dia, dalam praktiknya, kebebasan tersebut dibatasi ancaman maksimal dari ketentuan yang dilanggar.
"Dalam kasus pidana yang lahir karena adanya pelanggaran terhadap kepentingan umum, in case hukum pidana (KUHP), maka batasan besarnya putusan didasarkan pada ancaman maksimal ketentuan pasal yang dilanggar, bukan pada tuntutan Jaksa," kata dia.
Walau tak lazim, Fickar menerangkan putusan-putusan hakim terdahulu dalam kasus serupa yakni penyiraman air keras yang memvonis terdakwa dengan hukuman maksimal dapat menjadi pertimbangan bagi hakim dalam menilai kasus ini, atau yurisprudensi.
Sebenarnya ada banyak kasus yang divonis jauh lebih berat dari tuntutan JPU. Fickar mencontohkan salah satu kasus yang juga menyita perhatian publik, yakni penistaan agama oleh Basuki Tjahja Purnama alias Ahok pada 2017 silam.
Kala itu, JPU menuntut Ahok dengan tuntutan satu tahun penjara karena melanggar pasal 156 KUHP. Namun, dalam putusannya hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara dua tahun karena dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur pasal 156a KUHP.
"Jadi meskipun preseden bukan sumber hukum, tapi hakim bisa berkaca pada putusan-putusan sejenis," kata Fickar.