Dua terdakwa pembunuhan ayah dan anak, Aulia Kesuma dan Geovanni Kelvin mengajukan banding atas vonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selain banding, keduanya juga mengirim surat ke Presiden Joko Widodo.
Aulia dan Geovanni dihukum mati usai Majelis Hakim menilai mereka terbukti bersalah menjadi otak pembunuhan berencana terhadap suami dan anak tirinya pada pertengahan tahun lalu.
"Kami sudah mendaftarkan permohonan banding ke PN Selatan Jumat 19 Juni," kata Pengacara kedua terpidana Firman Chandra saat dikonfirmasi CNNIndonesia.com, Senin (22/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain banding, Firman mengatakan, pihaknya juga bakal mengirim surat ke sejumlah pihak terkait vonis mati kepada kliennya ini. Bahkan pihaknya juga turut mengirim surat ke Jokowi untuk meminta keadilan atas vonis hakim ini.
Firman mengklaim bahwa surat untuk Jokowi tersebut telah diterima oleh Sekretariat Negara.
"Kami mengirimkan surat mohon keadilan kepada Presiden RI, Wakil Presiden RI, Komnas HAM, Komisi III DPR RI, Menkumham, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung," lanjut dia.
Berdasarkan isi surat yang diterima CNNIndonesia.com kepada Jokowi, setidaknya Firman meminta agar hukuman mati tersebut dipertimbangkan dengan beberapa alasan.
Firman menyebut pidana mati bertentangan dengan ketentuan internasional hak asasi manusia terutama Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yaitu hak untuk hidup dan Pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup.
Kemudian juga, beberapa pertimbangan lain yang sudah diajukan dalam pledoi atau nota pembelaan seperti Aulia memiliki putri masih yang masih balita dari pernikahannya dengan korban Edi Candra Purnama.
Lalu beberapa yurisprudensi atau vonis hakim dalam kasus serupa yang menyita perhatian publik, namun tidak divonis mati. Beberapa kasus itu ia mencontohkan, yakni kecelakaan maut di Tugu Tani yang melibatkan Afriyani Susanti dan berujung, dan pembunuhan berencana dengan kopi sianida oleh Jesicca Kumala Wongso.
"Selama hukuman mati masih menjadi sanksi dalam hukum pidana, maka Indonesia disebut masih jauh dari cita-cita luhur pendiri bangsa yang terkandung dalam Pancasila," tulis petikan surat tersebut.
Untuk diketahui Afriyani sendiri divonis 15 tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana dalam kecelakaan yang menewaskan sejumlah anak-anak di kawasan Tugu Tani, Jakarta Pusat pada 2012 silam. Afriyani dianggap lalai tidak menginjak rem saat mengendarai mobilnya sebelum menabrak iring-iringan anak-anak di pinggir jalan.
Sementara Jessica juga divonis 20 tahun penjara setelah dinilai terbukti bersalah merencanakan pembunuhan terhadap temannya, Wayan Mirna Salihin dengan kopi yang dicampur sianida.
Selain itu, Firman juga memaparkan data Ditjen Pemasyarakatan pada 2019 dan database ICJR mengenai hukuman mati di Indonesia menunjukkan ada sekitar 274 terpidana mati dalam Lapas. Sementara itu, 60 orang di antaranya menunggu dieksekusi mati selama lebih dari 10 tahun.
Sebagai informasi, dalam sidang putusan yang berlangsung secara telekonferensi, Majelis Hakim menyatakan perbuatan Aulia dan Geovanni tergolong kejam dan sadis. Majelis menyatakan kedua terdakwa terbukti melanggar Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hakim mengatakan Aulia merasa terdesak dengan utang-utang di bank yang harus dibayar setiap bulan, sementara suaminya yakni Edi Candra Purnama tak peduli.
Aulia juga kesal karena permintaannya untuk menjual rumah ditolak oleh Edi, sehingga merencanakan untuk menghabisi suaminya tersebut.
"Yang memberatkan terdakwa adalah perbuatan terdakwa telah menimbulkan keresahan di masyarakat, tidak sesuai dengan hak asasi manusia. Untuk hal yang meringankan tidak ada," kata Suharno.
Vonis majelis hakim tersebut sesuai dengan tuntutan JPU yang juga menuntut hukuman mati terhadap para terdakwa.
(mjo/osc)