Jakarta, CNN Indonesia --
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sering kali mendapat sorotan dalam penegakan hukum selama ini. Posisinya terjepit, antara menegakkan hukum dan potensi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
Hampir setiap tahun, ratusan laporan masuk ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terkait dengan dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian.
Komisioner Komnas HAM Amiruddin mengungkapkan setidaknya ada 744 aduan pada 2019 terkait dugaan proses hukum oleh Polri yang tidak sesuai dengan aturan hingga dugaan kekerasan oleh jajaran kepolisian dalam bertugas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika diklasifikasi, Polri merupakan institusi terbanyak yang diadukan ke Komnas HAM karena dugaan pelanggaran HAM dibanding institusi lain.
Sementara, menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya ada 921 laporan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian selama periode Juli 2019 hingga Juni 2020.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo kala itu menilai banyaknya laporan terkait dugaan pelanggaran HAM itu merupakan hal yang wajar diterima oleh kepolisian. Pasalnya institusi tempatnya mengabdi adalah yang paling banyak menangani kasus hukum dan bersentuhan langsung dengan masyarakat.
 Ilustrasi polisi. (Antara/SYIFA YULINNAS) |
"Enggak bisa menggeneralisir, enggak bisa seperti itu. Pasti (banyak dilaporkan). Coba lihat di seluruh dunia, lembaga institusi mana yang paling banyak melanggar HAM? Pasti kepolisian," kata Dedi sebagaimana diberitakan CNNIndonesia.com Rabu 17 Juli 2019 lalu.
Di masa sekarang, Polri mengklaim dalam menjalankan tugasnya setiap jajaran kepolisian di lapangan selalu diwajibkan untuk menghormati HAM sesuai aturan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Seyogyanya aturan itu berlaku, Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menerangkan setiap laporan dan kritik kepada Korps Bhayangkara tentu akan diterima dan menjadi bahan evaluasi ke depannya. Meskipun, selama ini setiap anggota kepolisian telah dibekali sikap profesionalisme.
"Polri saat ini sudah menjalankan tugas pokoknya sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku," kata Argo saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (28/6).
Dia mengapresiasi sejumlah lembaga eksternal yang turut melakukan pengawasan terhadap kinerja Polri, seperti Komnas HAM. Maklum, sejumlah pelanggaran HAM yang terjadi memang seringkali tidak terdeteksi oleh mekanisme pengawasan internal kepolisian itu sendiri.
"Sepanjang yang disampaikan Komnas HAM tersebut sesuai dengan fakta hukumnya, Polri pasti akan menindaklanjuti hal tersebut dan memberi sanksi tegas bagi personilnya," lanjut Argo menjelaskan.
Argo menerangkan, pada prinsip menjalankan tugas kesehariannya, Polri terikat pada hukum disiplin sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 2 Tahun 2016 dan kode etik profesi Polri sesuai Perkap Nomor 14 Tahun 2011. Selain itu, masih ada aturan turunan lain yang mengikat anggota kepolisian dalam bertindak di lapangan.
Dalam aturan itu dijelaskan secara rinci mengenai sejumlah mekanisme penyelesaian hukum atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian.
Sehingga penting bagi fungsi pengawas internal untuk memastikan agar aturan tersebut dilaksanakan dengan optimal, tidak hanya untuk mencegah personil melakukan pelanggaran namun juga membangun budaya organisasi yang adaptif.
"Sepanjang pelaksanaan tugas dilakukan dengan profesional dan proporsional, setiap anggota Polri tidak perlu merasa khawatir dibayangi pelanggaran HAM," ucap Argo.
"Sehingga perlu bagi setiap manager dan first line supervisor untuk meningkatkan kompetensi personil Polri dalam aspek knowledge, skill dan attitude," lanjut dia lagi.
Dalam menjalankan tugasnya pun, kata Argo, setiap insan Korps Bhayangkara akan terus didorong untuk bekerja dengan mengedepankan asas salus populi suprema lex esto atau menempatkan keselamatan rakyat sebagai hukum tertinggi.
Oleh sebab itu, penegakan hukum selama ini dikenal sebagai ultimum remedium atau langkah terakhir ketika upaya preemtif dan preventif di kepolisian tidak efektif.
"Penegakan hukum yang dilakukan Polri harus dapat memberikan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum kepada masyarakat dengan pendekatan hukum progresif yang dalam pelaksanaannya mengedepankan restorative justice bagi para pihak," pungkas dia.
(bersambung ke halaman selanjutnya...)
Meski bertugas dengan terikat pada sejumlah aturan ketat, namun kepolisian nyatanya acapkali melakukan pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugas. Meskipun, menurut peneliti KontraS Rivanlee kepolisian merupakan salah satu institusi yang cukup progresif.
Artinya, menurut dia, dalam menjalankan tugasnya ada pedoman implementasi HAM yang harus dijalankan ketika bertugas. Aturan itu misalnya tertuang dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009, dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009.
"Cuma masalahnya, polisi selalu berdalih bahwa kekerasan atau praktik pelanggaran HAM oleh kepolisian itu atas nama diskresi," kata Rivan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (29/6).
Hal itu menjadi abstrak lantaran tidak ada batasan-batasan jelas mengenai penggunaan diskresi oleh kepolisian saat bertugas di lapangan. Menurut Rivan, akhirnya hal itu berujung pada beberapa anggota kepolisian yang menjadikan diskresi sebagai dalih mengamankan keadaan namun disertai melakukan pelanggaran HAM.
Dari sisi penegakan hukum, Rivan menyoroti jarangnya oknum polisi yang terseret ke ranah pidana apabila melakukan pelanggaran. KontraS pun sempat mengirimkan surat keterbukaan informasi publik kepada Polri terkait hal tersebut (Nomor surat KIP 46/SK-KontraS/III/2020 tanggal 5 Maret 2020).
KontraS mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri periode Agustus 2019-Februari 2020 sebanyak 38 kasus. Dari keseluruhan kasus itu, 23 kasus diproses disiplin dan 15 lainnya merupakan pelanggaran KEPP (Kode Etik Profesi Polri). Sedangkan, jumlah kasus pelanggaran kode etik profesi Polri lainnya sebanyak 462 kasus.
Sementara, berdasarkan catatan pihaknya, sepanjang 2019 hingga saat ini, peristiwa pelanggaran HAM oleh oknum polisi banyak dilakukan dalam bentuk penembakan, yakni sebanyak 534 kasus. Kemudian diikuti oleh penangkapan sewenang-wenang sebanyak 121 peristiwa, pembubaran paksa sebanyak 120 kejadian, dan terakhir kasus penganiayaan sebanyak 101 kasus.
Selain itu, dalam laporan terakhir KontraS tercatat ada 48 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum polisi selama bertugas. Jumlah itu terbanyak jika dibandingkan dengan institusi lain seperti TNI atau petugas sipir.
"Angkanya nampak banyak karena 1 peristiwa bisa lebih dari 1 tindakan pelanggaran. Misalnya, saat demo Reformasi Dikorupsi, ada penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan penembakan (gas air mata)," kata Rivan menerangkan.
 Ilustrasi.(Foto: iStockphoto/Herwin Bahar) |
Kasus Demonstrasi Mei
KontraS pun mengingatkan bahwa pelanggaran HAM bukan hanya terjadi apabila aparat melakukan kekerasan saat bertugas. Pembiaran atau kelalaian selama bertugas pun dinilai juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.
Rivan memberi contoh kasus demonstrasi 21-23 Mei 2019 dan Aksi Reformasi Dikorupsi 23-30 September 2020 yang hingga kini belum menemukan titik terang. Padahal, dari dua peristiwa itu, terdapat sejumlah korban yang berjatuhan dan telah dilaporkan ke kepolisian.
"Komnas HAM juga sudah menyerahkan rekomendasinya kepada kepolisian untuk menindaklanjuti atau mencari pelaku dari tewasnya orang-orang karena praktik kekerasan dan penyiksaan pada masa aksi tersebut," kata Rivan.
Masih dalam peristiwa itu, bahkan Ombudsman sempat menemukan ada dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh kepolisian saat bertugas mengamankan demo 21-23 Mei di depan Gedung Bawaslu. Hanya saja, laporan pada Oktober 2019 itu ditolak oleh pihak kepolisian.
Saat itu Ombudsman menemukan maladministrasi terhadap empat hal antara lain cara bertindak, penegakan hukum sampai penanganan korban serta barang bukti, penyalahgunaan wewenang, serta penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan plotting pasukan.
Lebih lanjut Rivan menjelaskan, pelanggaran HAM yang terus dilakukan oleh aparat kepolisian lantaran ada pola yang terus berulang. Bukan hanya karena lemahnya penegakkan hukum yang dilakukan, namun pengawasan dari internal maupun eksternal Polri yang tidak kuat.
"Apalagi Pak Idham Azis mau beralih tugas dan digantikan oleh yang lain. Ini harus jadi prioritas model pengawasan internal dan eksternal," lanjut Rivan.
"Karena evaluasinya itu nggak pernah dijalankan, bahkan yang sudah datang dari pengawas eksternal," tambah dia.
Jika merujuk pada hal itu, maka pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian akan terus bertahan, bahkan menciptakan pola kejahatan baru. Misalnya, kata Rivan, kini kepolisian semakin berani dalam memberangus suara-suara kritis dengan melakukan persekusi dan kriminalisasi kasus.
Oleh sebab itu, kata Rivan, perlu bagi Korps Bhayangkara untuk membuka diri dalam menerima informasi dan catatan dari publik terhadap kinerja institusinya tersebut. Hal itu menjadi penting apabila Polri ingin menjalankan fungsi-fungsinya dalam mandataris undang-undang untuk menjadi pengayom dan pelayan masyarakat.
"Karena publik bisa melihat dengan jelas dan publik juga diberikan ruang dalam memberikan kriti terhadap Korps Bhayangkara," kata dia.