HUT BHAYANGKARA

Wajah Polisi di Antara Diskresi dan Bayang-bayang HAM

CNN Indonesia
Rabu, 01 Jul 2020 08:54 WIB
Suasana unjuk rasa di kawasan Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/5/2019). Personel TNI-Polri dari berbagai kesatuan disebar ke sejumlah titik dan objek vital di Jakarta guna membantu pengamanan Ibu Kota saat pengumuman hasil Pemilu 2019 pada Rabu 22 Mei 2019. CNN Indonesia/Safir Makki
Ilustrasi tugas kepolisian. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Meski bertugas dengan terikat pada sejumlah aturan ketat, namun kepolisian nyatanya acapkali melakukan pelanggaran HAM dalam melaksanakan tugas. Meskipun, menurut peneliti KontraS Rivanlee kepolisian merupakan salah satu institusi yang cukup progresif.

Artinya, menurut dia, dalam menjalankan tugasnya ada pedoman implementasi HAM yang harus dijalankan ketika bertugas. Aturan itu misalnya tertuang dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009, dan Perkap Nomor 1 Tahun 2009.

"Cuma masalahnya, polisi selalu berdalih bahwa kekerasan atau praktik pelanggaran HAM oleh kepolisian itu atas nama diskresi," kata Rivan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Minggu (29/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal itu menjadi abstrak lantaran tidak ada batasan-batasan jelas mengenai penggunaan diskresi oleh kepolisian saat bertugas di lapangan. Menurut Rivan, akhirnya hal itu berujung pada beberapa anggota kepolisian yang menjadikan diskresi sebagai dalih mengamankan keadaan namun disertai melakukan pelanggaran HAM.

Dari sisi penegakan hukum, Rivan menyoroti jarangnya oknum polisi yang terseret ke ranah pidana apabila melakukan pelanggaran. KontraS pun sempat mengirimkan surat keterbukaan informasi publik kepada Polri terkait hal tersebut (Nomor surat KIP 46/SK-KontraS/III/2020 tanggal 5 Maret 2020).

KontraS mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh anggota Polri periode Agustus 2019-Februari 2020 sebanyak 38 kasus. Dari keseluruhan kasus itu, 23 kasus diproses disiplin dan 15 lainnya merupakan pelanggaran KEPP (Kode Etik Profesi Polri). Sedangkan, jumlah kasus pelanggaran kode etik profesi Polri lainnya sebanyak 462 kasus.

Sementara, berdasarkan catatan pihaknya, sepanjang 2019 hingga saat ini, peristiwa pelanggaran HAM oleh oknum polisi banyak dilakukan dalam bentuk penembakan, yakni sebanyak 534 kasus. Kemudian diikuti oleh penangkapan sewenang-wenang sebanyak 121 peristiwa, pembubaran paksa sebanyak 120 kejadian, dan terakhir kasus penganiayaan sebanyak 101 kasus.

Selain itu, dalam laporan terakhir KontraS tercatat ada 48 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum polisi selama bertugas. Jumlah itu terbanyak jika dibandingkan dengan institusi lain seperti TNI atau petugas sipir.

"Angkanya nampak banyak karena 1 peristiwa bisa lebih dari 1 tindakan pelanggaran. Misalnya, saat demo Reformasi Dikorupsi, ada penangkapan, penganiayaan, penyiksaan, dan penembakan (gas air mata)," kata Rivan menerangkan.

A police line is placed in the middle of the crime scene so that the evidence remains safeIlustrasi.(Foto: iStockphoto/Herwin Bahar)

Kasus Demonstrasi Mei

KontraS pun mengingatkan bahwa pelanggaran HAM bukan hanya terjadi apabila aparat melakukan kekerasan saat bertugas. Pembiaran atau kelalaian selama bertugas pun dinilai juga merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Rivan memberi contoh kasus demonstrasi 21-23 Mei 2019 dan Aksi Reformasi Dikorupsi 23-30 September 2020 yang hingga kini belum menemukan titik terang. Padahal, dari dua peristiwa itu, terdapat sejumlah korban yang berjatuhan dan telah dilaporkan ke kepolisian.

"Komnas HAM juga sudah menyerahkan rekomendasinya kepada kepolisian untuk menindaklanjuti atau mencari pelaku dari tewasnya orang-orang karena praktik kekerasan dan penyiksaan pada masa aksi tersebut," kata Rivan.

Masih dalam peristiwa itu, bahkan Ombudsman sempat menemukan ada dugaan maladministrasi yang dilakukan oleh kepolisian saat bertugas mengamankan demo 21-23 Mei di depan Gedung Bawaslu. Hanya saja, laporan pada Oktober 2019 itu ditolak oleh pihak kepolisian.

Saat itu Ombudsman menemukan maladministrasi terhadap empat hal antara lain cara bertindak, penegakan hukum sampai penanganan korban serta barang bukti, penyalahgunaan wewenang, serta penyimpangan prosedur dan tidak kompeten pada perencanaan dan plotting pasukan.

Lebih lanjut Rivan menjelaskan, pelanggaran HAM yang terus dilakukan oleh aparat kepolisian lantaran ada pola yang terus berulang. Bukan hanya karena lemahnya penegakkan hukum yang dilakukan, namun pengawasan dari internal maupun eksternal Polri yang tidak kuat.

"Apalagi Pak Idham Azis mau beralih tugas dan digantikan oleh yang lain. Ini harus jadi prioritas model pengawasan internal dan eksternal," lanjut Rivan.

"Karena evaluasinya itu nggak pernah dijalankan, bahkan yang sudah datang dari pengawas eksternal," tambah dia.

Jika merujuk pada hal itu, maka pola pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kepolisian akan terus bertahan, bahkan menciptakan pola kejahatan baru. Misalnya, kata Rivan, kini kepolisian semakin berani dalam memberangus suara-suara kritis dengan melakukan persekusi dan kriminalisasi kasus.

Oleh sebab itu, kata Rivan, perlu bagi Korps Bhayangkara untuk membuka diri dalam menerima informasi dan catatan dari publik terhadap kinerja institusinya tersebut. Hal itu menjadi penting apabila Polri ingin menjalankan fungsi-fungsinya dalam mandataris undang-undang untuk menjadi pengayom dan pelayan masyarakat.

"Karena publik bisa melihat dengan jelas dan publik juga diberikan ruang dalam memberikan kriti terhadap Korps Bhayangkara," kata dia.

(mjo/osc)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER