Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti materi pengaturan dan perizinan halal terhadap UMKM dan perbankan syariah dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. MUI meminta agar materi sertifikasi halal yang dimuat dalam RUU itu tidak melanggar prinsip-prinsip agama.
Pandangan MUI itu tertuang dalam surat bernomor Kep-1332/DP-MUI/VII/2020 yang ditandatangani Wakil Ketua Umum MUI Muhyiddin Junaidi dan Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas. Surat tersebut tertanggal 3 Juli 2020.
Dalam surat tersebut, MUI menyebut halal merupakan bagian integral ajaran Islam dan keyakinan yang harus dipatuhi dan ditunaikan oleh setiap umat Islam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk itu, pengaturan tentang halal dalam RUU Cipta Kerja hendaknya bukan semata-mata diletakkan pada kepentingan dan motif ekonomi atau investasi serta mengabaikan prinsip-prinsip keagamaan.
"Misalnya dengan adanya pasal di dalam RUU yang membuka peluang ditetapkannya kehalalan oleh pihak-pihak tertentu yang tidak memiliki otoritas keagamaan Islam," dikutip dari surat tersebut.
Dalam pandangan MUI, apabila halal menjadi bagian dari perizinan dan penyederhanaan berusaha, maka di samping RUU ini berpotensi melanggar prinsip-prinsip agama, hal ini juga menjadikan halal sebagai ketentuan yang bersifat imperatif yang mengikat pelaku usaha dan dapat membebani.
Menurut MUI, hal ini justru menjadikan kontraproduktif dengan semangat RUU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan perizinan berusaha.
"Halal seharusnya dikeluarkan dari rezim perizinan dan penyederhanaan berusaha serta dikembalikan kepada ruhnya, yaitu sebagai hukum agama Islam yang merupakan domain ulama yang terwadahi di MUI," jelas surat tersebut.
Surat tersebut juga menyebut bahwa penetapan Fatwa Halal dalam Bab III dan Bab V mengenai perizinan kehalalan untuk UMKM atau dalam ketentuan-ketentuan lain dalam RUU Cipta Kerja, tidak sesuai dengan hak internum umat Islam, berpotensi membingungkan umat Islam dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selain itu, rumusan tentang perizinan kehalalan untuk UMKM tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam karena pemerintah masuk ke ranah substansi ajaran Islam (fatwa halal) dengan membuat halal menjadi bagian dari perizinan.
"Sementara halal merupakan bagian integral ajaran Islam yang menjadi domain lembaga fatwa Islam yang untuk penetapan halalnya melalui mekanisme fatwa," dikutip dari surat tersebut.
Lihat juga:Pentingnya Produk Halal dalam Islam |
Atas dasar itu, MUI Pusat berpendapat, dalam hal sertifikasi halal, kiranya pemerintah memposisikan diri sebagai lembaga administratif, sementara MUI diposisikan sebagai lembaga internum yang mempunyai otoritas melakukan penetapan fatwa halal terhadap produk.
Sebagai informasi, dalam draf RUU Ciptaker yang didapat CNNIndonesia.com, Pasal 49 angka 3 merevisi Pasal 7 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Pasal 49 angka 3 menjelaskan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dapat bekerja sama dengan ormas Islam yang berbadan hukum dalam menjalankan wewenang penyelenggaraan jaminan produk halal, termasuk menerbitkan dan mencabut sertifikat halal.
Sebelumnya, kerja sama itu hanya berlaku antara BPJPH dengan kementerian/lembaga (K/L) terkait, lembaga pemeriksa halal (LPH), dan MUI.
Dalam draf aturan baru itu, pemerintah juga mewajibkan pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMKM) memiliki sertifikat halal. Ketentuan baru itu disisipkan antara Pasal 4 dan Pasal 5 yang berbunyi untuk UMKM kewajiban bersertifikat halal didasarkan pernyataan pelaku UMKM.
(yoa/osc)