Sejumlah perwakilan masyarakat adat Suku Anak Dalam (SAD) dan petani Jambi mengadu ke Ombudsman RI perihal ribuan hektare lahan mereka yang dikuasai korporasi sawit.
Mereka menuntut penindakan terhadap Pemerintah Provinsi Jambi dan Kabupaten Batanghari yang diklaim tidak menindaklanjuti arahan pemerintah pusat terkait konflik agraria.
Salah satu perwakilan SAD, Norman, mengatakan seharusnya pemerintah daerah merealisasikan pelepasan 3.550 hektar lahan dari konsesi perusahaan kepada pihaknya. Namun hingga kini hal tersebut tidak direalisasikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"[Berdasarkan] Surat ATR BPN tanggal 29 Maret 2016. Nah surat itu instruksi pengukuran [dan pelepasan] 3.550 hektar lahan dan sertifikat komunal kepada suku anak dalam," katanya kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (10/7) siang.
"Tapi surat tersebut tidak dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Batanghari maupun provinsi Jambi," lanjutnya.
Ungkapan tersebut mengacu pada Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 1373/020/III/2016. Surat tersebut menginstruksikan pemerintah daerah melakukan pengukuran lahan seluas 3.550 hektar dan dibebaskan kepada Suku Anak Dalam.
Norman menyatakan lahan tersebut berada di wilayah yang dikuasai korporasi dan dijadikan lahan konsesi. Padahal, kata dia, lahan tersebut milik Suku Anak Dalam.
Untuk itu pembebasan 3.550 hektar lahan di dalam Hak Guna Usaha (HGU) sebenarnya dijadikan upaya pemerintah pusat menyelesaikan konflik di antara kedua pihak. Namun hingga kini ia mengatakan pemerintah daerah belum merealisasikan hal tersebut.
Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Layanan Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnamasari mengatakan pemerintah di daerah sana justru berupaya menyelesaikan konflik dengan cara yang berbeda dari instruksi, yakni dengan melepas lahan di luar wilayah HGU korporasi.
"Lokasinya [lahan yang dilepas] juga jauh dari dusun tempat mereka tinggal. Dan tidak partisipatif, tidak melibatkan mereka. Jadi mereka menolak," ungkapnya.
Penolakan ini sempat diakali pemerintah daerah, katanya, dengan memunculkan oknum yang disebut suku anak dalam di wilayah tersebut. Padahal mereka bukan bagian dari Suku Anak Dalam yang menyuarakan tuntutan penyelesaian konflik.
Buntutnya pemerintah daerah dan pihak perusahaan kembali menjanjikan pelepasan lahan untuk penyelesaian konflik. Namun lahan tersebut lagi-lagi berada di luar HGU dan sudah dikuasai masyarakat lain. Sehingga, dikhawatirkan dapat menimbulkan konflik horizontal.
Sebelumnya, perwakilan warga Suku Anak Dalam dan petani itu tiba kemarin di Jakarta setelah melakukan long march atau jalan kaki dari Jambi. Setiba di Jakarta mereka pun langsung melakukan aksi di seberang Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat.
Mereka menuntut Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menyelesaikan permasalahan mereka yakni konflik lahan dengan korporasi di Jambi. Mereka menuding telah terjadi penyerobotan lahan mereka, total ribuan hektare, oleh korporasi sawit di sana untuk dikembalikan hari ini.
"Meminta kepada bapak presiden RI dan Kementerian ATR/BPN agar segera mengembalikan lahan 3.550 hektar milik suku anak dalam berdasarkan Surat Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1373/020/III/2016 tanggal 29 Maret 2016," demikian pengantar aksi mereka yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (10/7) pagi.
Mereka menyatakan 3.550 hektar lahan tersebut merupakan milik anak suku dalam Jambi namun dikuasai sejumlah perusahaan yang tengah membuka wilayah proyek di situ.
Dalam aksi kemarin, SAD dan petani Jambi yang didampingi YLBHI dan PRANA diterima untuk beraudiensi dengan Deputi II Kantor Staf Kepresidenan RI.
"Dalam pertemuan tersebut pihak KSP dalam waktu dekat akan melakukan pertemuan dengan Kementrian ATR, Pemda dan pihak-pihak terkait lainnya, terkait penyelesaian konflik yang dituntut oleh SAD dan Petani Jambi," demikian dalam keterangan pers mereka.
(fey/kid)