DPR Tanya Alasan Imigrasi Berikan Paspor untuk Djoko Tjandra

CNN Indonesia
Senin, 13 Jul 2020 14:53 WIB
Djoko Tjandra
DPR mencecar Ditjen Imigrasi Kemenkumham yang dituding lalai menerbitkan paspor untuk buronan kasus cessie Bank Bali, Djoko Tjandra. (Dok. Istimewa via Detikcom)
Jakarta, CNN Indonesia --

Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani mempertanyakan alasan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) mengeluarkan paspor untuk buron kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra.

Ia heran dengan langkah Ditjen Imigrasi tersebut karena Djoko sudah menanggalkan status warga negara Indonesia (WNI) dan menjadi warga negara lain.

"Djoko Tjandra sudah menanggalkan kewarganegaraan Indonesia dan menjadi warga negara Papua Nugini, lalu bagaimana seorang WNA bisa mendapatkan paspor Indonesia," kata Arsul dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi III DPR dengan Direktur Jenderal Imigrasi Kemkumham Jhoni Ginting, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (13/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia meminta Jhoni menjelaskan proses kehati-hatian sebelum mengeluarkan paspor kepada seseorang karena semua warga sudah mengetahui bahwa Djoko merupakan seorang buronan. Menurutnya, Jhoni juga harus mengakui bila direktoratnya lalai atau melakukan kesalahan dalam menerbitkan paspor Djoko.

"Seluruh masyarakat Indonesia sudah tahu kalau Djoko Tjandra merupakan buronan dan terpidana, saya ingin Dirjen Imigrasi memberikan jawaban apa adanya. Kalau ada kelalaian dan kesalahan, akui saja," ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Syarifuddin Sudding mengaku melihat keanehan karena Djoko yang merupakan warga negara asing dan berstatus buronan bisa masuk Indonesia tanpa terdeteksi.

Sudding pun ikut mempertanyakan alasan Ditjen Imigrasi Kemenkumham mengeluarkan paspor kepada seorang narapidana yang telah diputus dalam proses yang berkekuatan hukum tetap pada tanggal 23 Juni.

"Ini jadi pengetahuan umum dan tidak perlu cari alasan. orang ini merupakan napi yang (kasusnya) telah berkekuatan hukum tetap tapi kenapa parpor atas nama yang bersangkutan bisa keluar tanggal 23 Juni yang dikeluarkan Kantor Imigrasi Jakarta Utara tanpa koordinasi dengan penegak hukum," katanya.

Sudding juga mempertanyakan sistem keimigrasian yang mendeteksi keberadaan seseorang yang berstatus Daftar Pencarian Orang (DPO).

Diketahui, Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008.

Kemudian, red notice dari Interpol atas nama Joko Soegiarto Tjandra terbit pada 10 Juli 2009. Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.

Pada pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Soegiarto Tjandra.

Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.

Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa 'red notice' atas nama Joko Soegiarto Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014, karena tidak ada permintaan lagi dari Kejaksaan Agung RI.

Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020.

Pada 27 Juni 2020, terdapat permintaan DPO dari Kejaksaan Agung RI, sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.

(ain/mts/ain)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER