Polri menyelidiki 55 kasus dugaan penyelewengan dana bantuan penanganan Covid-19 di sejumlah daerah. Temuan kasus terbanyak ada di Sumatra Utara.
"Data yang kami terima 55 kasus di 12 Polda," tutur Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Awi Setiyono di kantornya, Jakarta, Selasa (14/7).
Rinciannya, kata dia, 31 kasus di Polda Sumatera Utara, 5 kasus di Polda Riau, 3 kasus di Polda Banten, 3 kasus di Polda Nusa Tenggara Timur, serta 3 kasus Polda Sulawesi Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, masing-masing dua kasus di Polda Jawa Timur, Polda Maluku Utara, dan Polda Nusa Tenggara Barat.
Polda Kalimantan Tengah, Polda Kepulauan Riau, Polda Sulawesi Barat, serta Polda Sumatera Barat masing-masing menyumbang satu kasus.
Dari hasil pemeriksaan, Awi menyebut pihaknya menemukan beberapa motif dalam kasus penyelewengan dana tersebut.
![]() |
Mulai dari pemotongan dana dan pembagian tidak merata, pemotongan dana digunakan untuk uang lelah, pengurangan timbangan paket sembako.
"Pemotongan dana sengaja dilakukan perangkat desa dengan maksud asas keadilan bagi mereka yang tidak menerima, hal tersebut sudah diketahui dan disetujui yang menerima bansos," tutur Awi.
Motif lainnya, kata Awi, tidak ada transparansi kepada masyarakat terkait sistem pembagian dan dana yang diterima.
"Ini masih melakukan penyelidikan, tentunya tanpa mengganggu jalannya pendistribusian," ujarnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Idham Azis menyatakan bakal menindak tegas penyelenggara negara yang menyelewengkan atau melakukan korupsi anggaran penanganan dampak virus corona di Indonesia.
Itu merupakan lanjut dari instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta penegak hukum berani menindak tegas dan 'menggigit' penyelenggara negara yang terindikasi atau terbukti melakukan korupsi.
![]() |
Kata Idham, Polri telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk menindak oknum yang menyalahgunakan dana untuk penanganan virus corona.
"Dalam situasi kondisi pandemi seperti ini apabila ada yang menyalahgunakan maka Polri tidak pernah ragu untuk 'sikat' dan memproses pidana," kata Idham dalam keterangannya, Senin (15/6).
(dis/arh)