Jaksa Agung ST Burhanuddin menanggapi pencabutan red notice terhadap buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra. Dia menyatakan hingga kini belum ada kejelasan terkait kelanjutan red notice Djoko Tjandra.
"Itu sampai saat ini belum ada titik temunya. Red notice itu kan tidak ada cabut mencabut, selamanya sampai ketangkap, tapi nyatanya begitulah," kata Burhanuddin kepada wartawan di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (15/7).
Red notice merupakan permintaan untuk menemukan dan menahan sementara seorang tersangka yang masuk daftar pencarian orang (DPO). Red notice diterbitkan oleh Interpol atas permintaan Polri, untuk membatasi perjalanan tersangka di luar negeri.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Burhanuddin mengatakan pihaknya masih menelusuri terhapusnya nama Joko Tjandra dari sistem basis data Interpol. Penelusuran itu, kata dia, dilakukan pihak Polri meski hingga saat ini belum menemukan titik terang.
"Sampai saat ini belum ada laporannya lagi (Sudah diterbitkan lagi atau tidak)," ujar Burhanuddin.
Tersangka Djoko Tjandra pertama kali dicegah bepergian ke luar negeri pada 24 April 2008. Red notice dari Interpol atas nama Joko Tjandra kemudian terbit pada 10 Juli 2009.
![]() |
Pada 29 Maret 2012 terdapat permintaan pencegahan Djoko Tjandra ke luar negeri dari Kejaksaan Agung RI berlaku selama 6 bulan.
Kemudian pada 12 Februari 2015 terdapat permintaan DPO dari Sekretaris National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia terhadap Joko Tjandra.
Ditjen Imigrasi lalu menerbitkan surat perihal DPO kepada seluruh kantor imigrasi ditembuskan kepada Sekretaris NCB Interpol dan Kementerian Luar Negeri.
Pada 5 Mei 2020, terdapat pemberitahuan dari Sekretaris NCB Interpol bahwa 'red notice' atas nama Joko Tjandra telah terhapus dari sistem basis data terhitung sejak tahun 2014.
Ditjen Imigrasi menindaklanjuti hal tersebut dengan menghapus nama Joko Soegiarto Tjandra dari sistem perlintasan pada 13 Mei 2020. Namun pada 27 Juni 2020 Kejaksaan Agung meminta penerbitan DPO sehingga nama yang bersangkutan dimasukkan dalam sistem perlintasan dengan status DPO.
Diketahui Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) melaporkan Dirjen Imigrasi Kemenkumham ke Ombudsman RI perihal dugaan malaadministrasi hingga membuat Djoko masuk Indonesia. Laporan itu diajukan pada Selasa (7/7).
Sementara anggota Komisi III DPR Wihadi Wiyanto mempertanyakan alasan Interpol menghapus status red notice Djoko Tjandra sejak 13 Mei 2020.
Menurutnya, pencabutan tersebut dilakukan dengan mudah sehingga Djoko bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait kasus yang menjeratnya. Bahkan Djoko bisa melakukan perekaman kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang digunakan untuk mendaftarkan PK di PN Jaksel.
(mjo/pmg)