LBH Sebut Kebijakan Risma Soal Rapid Test Beratkan Buruh

CNN Indonesia
Senin, 20 Jul 2020 11:55 WIB
Petugas kesehatan menggunakan alat rapid diagnostic test Corona RI-GHA COVID-19  di ruang Heritage, Kemenko PMK, Jakarta. Kamis (9/7/2020). CNN Indonesia/Andry Novelino
Ilustrasi rapid test. (Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino)
Surabaya, CNN Indonesia --

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menilai syarat hasil rapid test bagi pekerja asal luar Surabaya memberatkan dengan hasil kurang akurat. Hal ini pun dipandang hanya menyuburkan komersialisasi.

Kebijakan tersebut, diatur dalam pasal 12 ayat (2) huruf f dan Pasal 24 ayat (2) huruf e dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 33 Tahun 2020 sebagai perubahan atas Perwali Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Tatanan Normal Baru pada Kondisi Pandemi Covid-19 di Surabaya.

Direktur LBH Surabaya Wachid Habibullah mengatakan aturan itu memberatkan para pekerja, terutama buruh berpenghasilan rendah, meski bertujuan untuk mencegah terjadinya penularan Covid-19 di Surabaya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Meskipun tujuannya untuk melakukan screening belum tentu dikatakan aman dari Covid-19 namun hal tersebut dirasa berat bagi buruh dan masyarakat," kata dia, Senin (20/7).

Belum lagi dalam aturan itu Pemkot Surabaya membatasi bahwa hasil rapid test tersebut hanya memiliki jangka waktu atau durasi selama 14 hari. Artinya, pekerja harus melakukan tes ulang secara berkala.

"Mahalnya biaya rapid test secara mandiri, dan hanya berdurasi 14 hari, akan membuat masyarakat terutama bagi kalangan pekerja yang masuk ke Kota Surabaya harus melakukan rapid test secara berulang karena terhambat masa berlaku hasil rapid test yang terbatas," ujarnya.

Padahal, kata dia, rapid test disebut tak sepenuhnya akurat untuk melakukan screening. Ia khawatir kebijakan ini justru akan dimanfaatkan pihak yang tak bertanggung jawab, untuk meraup keuntungan.

Infografis Perbedaan Rapid Test dan RT-PCRFoto: CNNIndonesia/Basith Subastian

"Tidak hanya masa hasil rapid test yang terbatas namun kualitas dari hasil rapid test tersebut tidak akurat," terangnya.

"Hak atas informasi masyarakat terlanggar karena adanya kesimpangsiuran mengenai harga yang diterapkan untuk melakukan rapid test, beberapa oknum memanfatkan keadaan untuk menyelengarakan rapid test dengan harga yang tidak wajar," dia menambahkan.

Senada, Paguyuban Rakyat Indonesia Melawan Pandemi Covid-19 meminta pemerintah menghentikan pengunaan rapid test sebagai diagnosis ataupun syarat perjalanan warga karena tak akurat dan hanya lahan bisnis.

Paguyuban ini merupakan koalisi sejumlah LSM, seperti ICW, Amnesty, KontraS, serta individu, seperti epidemiolog Pandu Riono.

"Pemerintah juga harus meghentikan kebijakan keliru penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan dan masuk kerja dan/atau prosedur," menurut Paguyuban, dalam siaran persnya.

Koalisi pun lebih menyarankan peningkatan tes polymerase chain reaction (PCR), yang lebih akurat dalam melacak Covid-19.

"Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes PCR melebihi anjuran rasio minimum 1/1000 penduduk setiap minggu (atau sekitar 40,000 tes per hari), menjadi 300.000 per hari," kata pernyataan itu.

Alih-alih menggratiskan tes massal Covid-19 dan memperbanyak fasilitas sosial dan fasilitas umum untuk mencegah Covid-19, Paguyuban menilai "Pemerintah Indonesia tidak benar-benar mengupayakan pemenuhan hak atas kesehatan warga".

"Yang terjadi di lapangan justru menunjukkan uji tes COVID-19 (khususnya Rapid Test misalnya) cenderung dikomersilkan dan mahal untuk diakses warga," menurut pernyataan itu.

(frd/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER