Kejaksaan Agung (Kejagung) menganggap buronan Djoko S Tjandra tidak menghormati pengadilan karena tidak memenuhi persidangan permohonan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) yang dimohonkannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
"Sebetulnya kami itu kan mereka mengajukan PK, ya kami layani. Kami menghormati, kami datang [persidangan]," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono kepada wartawan, Selasa (21/7).
Hari mengatakan sudah menjadi kewajiban bagi Djoko Tjandra selaku pemohon PK untuk hadir di persidangan secara langsung. Pasalnya, pihak kejaksaan sudah melayani gugatan tersebut dengan selalu hadir di pengadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Hari mengatakan kejaksaan juga memiliki kewajiban lain sebagai eksekutor untuk langsung mengeksekusi putusan Mahkamah Agung pada 2008 silam. Namun, hal itu masih terkendala karena terpidana yang buron.
"Tapi mereka [Djoko Tjandra] kan sebaliknya tidak menghormati. Sementara, kami punya tugas untuk mengeksekusi," kata dia.
Sebelumnya Korps Adhyaksa berjanji akan menangkap dan mengeksekusi Djoko Tjandra saat hadir di pengadilan pengajuan PK.
Djoko sendiri diketahui sudah tiga kali mangkir persidangan yang dimohonkan dirinya.
Pertama, dia tidak hadir pada persidangan permohonan PK yang digelar 29 Juni dan 6 Juli 2020 lalu. Kemudian, terakhir dia pun mangkir sidang yang digelar kemarin, Senin (20/7).
Djoko selama ini beralasan dirinya sakit dan tengah menjalani perawatan di Malaysia. Melalui kuasa hukumnya, Djoko selalu menitipkan surat keterangan sakit untuk ditujukan ke Hakim.
Dalam sidang yang tertunda terakhir, Djoko meminta agar sidang selanjutnya digelar secara teleconference. Hal tersebut disampaikan Djoko Tjandra dalam sebuah surat yang dibaca kuasa hukumnya, Andi Putra Kusuma dalam sidang permohonan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (20/7).
"Bahwa demi tercapainya keadilan dan kepastian hukum melalui surat ini, saya memohon kepada majelis hakim yang memeriksa permohonan PK agar dapat melaksanakan pemeriksaan PK saya secara daring atau teleconference," kata Andi.
Mendengar itu, ketua majelis hakim, Nazar Effriadi menyatakan sidang tak dapat diteruskan karena Djoko Tjandra selaku pemohon tak memberi kepastian untuk hadir dalam persidangan.
Meskipun demikian, hakim tetap menunda sidang selama satu minggu dan meminta jaksa menyiapkan pendapat tertulis atas persidangan PK tersebut.
Sementara itu, saat dihubungi, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY), Maradaman Harahap mengatakan pihaknya tidak dapat langsung berkesimpulan bahwa majelis hakim dalam perkara tersebut tidak adil dan melanggar kode etik.
"Itu tentu penilaian hakim. Jadi tidak serta merta hakim tersebut dianggap melanggar Kode Etik," kata Maradaman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa.
Meski demikian, kata dia, pihaknya terbuka untuk menerima laporan dari publik apabila menemukan indikasi Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Menurut dia, keputusan untuk menggugurkan permohonan lantaran pemohon tidak hadir dalam persidangan pun sepenuhnya merupakan kewenangan penilaian Hakim.
"Tentu sangat tergantung dengan alasan tidak hadir, kalau panggilan sudah benar-benar diterima oleh Pemohon tapi tdk hadir tentu saja permohonan tersebut bisa saja digugurkan oleh hakim. Tetapi itu sepenuhnya kewenangan hakim," pungkasnya.
(mjo/kid)