Memasuki usia 60 tahun, Kejaksaan Agung (Kejagung) diakui sedikit membuka harapan soal penanganan kasus megakorupsi hari ini. Namun, persoalan oknum di internal dan masalah penanganan kasus hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu masih jadi pekerjaan rumah (PR) yang besar.
Kejaksaan Agung-Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kerap saling 'melempar bola' terkait dengan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu. Beberapa kasus bahkan hingga saat ini 'macet' dan tidak terselesaikan usai diselidiki.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, memang yang berwenang untuk melakukan penyelidikan adalah Komnas HAM. Kemudian, nantinya berkas penyelidikan itu akan diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk diteliti sehingga dapat masuk ke tahap penuntutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahap itu, seringkali Kejaksaan Agung mengembalikan berkas-berkas penyelidikan Komnas lantaran tidak memenuhi syarat formil dan materiil. Sehingga, nantinya berpotensi untuk digugurkan dalam pengadilan.
Kejaksaan selalu menggunakan dalih yang sama, yakni pihak penyelidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang sudah diberikan kejaksaan untuk dapat membuktikan terjadinya tindak pidana pelanggaran HAM Berat.
Sikap itu pun kerap kali menuai kritik dari berbagai elemen masyarakat. Belum lagi, Jaksa Agung ST Burhanuddin sempat melontarkan pernyataan kontroversial soal peristiwa Semanggi I dan II saat rapat dengan anggota DPR.
"Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II, telah ada hasil Rapat Paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat," kata Burhanuddin saat menggelar rapat dengan Komisi III DPR, Jakarta, 16 Januari 2020.
Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com, ada sejumlah kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terus didesak untuk segera dituntaskan. Beberapa di antaranya telah selesai diselidiki Komnas HAM, hanya saja belum masuk ke tahap penyidikan karena dianggap kurang bukti.
Beberapa di antaranya pembunuhan massal dan penghilangan orang medio 1965-1966, Tanjung Priok 1984, Aceh sejak 1976, penghilangan aktivis dalam kurun waktu 1996-1998, Tragedi Semanggi I dan Tragedi Semanggi II pada 1998, Tragedi Wasior dan Wamena pada 2000, hingga kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib pada 2004.
Terakhir, Komnas HAM sempat menyatakan bahwa peristiwa Paniai Berdarah pada Desember 2014 sebagai kasus pelanggaran HAM Berat. Mereka telah merampungkan penyelidikannya dan melimpahkan berkas-berkas itu ke Kejaksaan Agung pada 11 Februari 2020.
Diketahui, Kejaksaan Agung pertama kali mengembalikan berkas kasus Paniai ke Komnas HAM pada 20 Maret 2020. Berkas tersebut dikembalikan Kejagung dengan alasan kurang bukti. Setelah melakukan pembenahan, Komnas HAM kemudian mengirimkan kembali berkas tersebut pada 14 April, tidak lama setelah itu pada 20 April, berkas tersebut kembali ke Komnas HAM.
"Ada harapan besar (untuk Kejaksaan) atas diselesaikannya kasus pelanggaran HAM Berat oleh Komnas dan publik luas, termasuk oleh Presiden," kata Komisioner Komnas HAM Choirul Anam saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (22/7).
![]() |
Menurut Anam, sebenarnya tidak ada permasalahan dalam teknis hukum untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ini. Choirul menerangkan pihaknya sudah banyak memberikan rekomendasi-rekomendasi sesuai undang-undang sehingga kejaksaan dapat terus berjalan untuk menangani penyelesaian kasusnya.
"Kejaksaan bisa membuat tim penyelidik independen sesuai UU 26/2000 agar bisa akselerasi percepatan penyidikan. Tim ini bisa diisi oleh prominent person yang kredibel dan paham HAM," kata dia.
Terkait hal itu pun, Jaksa Agung ST Burhanuddin sudah seringkali buka suara dan memberikan alasannya.
Dia bahkan sempat mengungkapkan masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang belum diselesaikan dan terbagi dalam dua periode yakni sebelum dan sesudah penerbitan UU 26/2000.
Sementara, baru ada tiga kasus pelanggaran HAM berat yang telah selesai yakni aksi kekerasan di Timor Leste pada 1999; Tragedi Tanjung Priok pada 1984; serta kasus yang terjadi di Abepura, Papua pada 2000.
"Beberapa hambatan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat [karena] belum adanya pengadilan HAM ad hoc," kata Burhanuddin dalam Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Kamis (7/11).
Burhanuddin kemudian menyampaikan proses pembuktian peristiwa pelanggaran HAM berat juga mengalami hambatan karena harus tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dia pun kukuh menyatakan keterangan seorang saksi tidak dapat dijadikan alat bukti kecuali didukung alat bukti lain seperti ahli forensik, uji balistik, atau dokumen terkait. Sementara, perlu diakui bahwa bukti-bukti tersebut sulit untuk didapatkan Komnas HAM.
Burhanuddin juga menyampaikan bahwa kesulitan dalam memperoleh alat bukti peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu terjadi karena waktu kejadian sudah lama dan lokasi kejadian telah mengalami perubahan.
"Tempus delicti sudah lama, locus delicti sudah berubah, alat bukti sulit diperoleh dan hilang atau tidak ada," katanya.
![]() |
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak menyatakan permasalahan macetnya kasus pelanggaran HAM di korps Adhyaksa ini menjadi sebuah dilema apabila tidak ada upaya terobosan hukum baru di Indonesia. Dia mengakui selama ini kejaksaan kesulitan menerima berkas-berkas penyelidikan, karena tidak berani untuk mempertanggungjawabkan tuntutannya di depan hakim saat pengadilan nantinya.
Faktornya, kata dia, bisa karena penyelidikan tersebut memang masih kurang jika dilihat dari aspek formil dan materiil.
"Itu yang sering tidak dilengkapi. Karena apa, kemampuan melengkapi alat-alat bukti. Apalagi soal pelanggaran HAM itu kan khusus itu, unik itu tersendiri," kata Barita saat dihubungi, Rabu .
Oleh karena itu, dia pun menyarankan agar pola supervisi penyelidikan kasus yang dilakukan antardua lembaga itu diperkuat. Artinya, kejaksaan pun dapat memberi pendampingan selama proses penyelidikan sehingga prosedur pelengkapan alat-alat bukti itu dapat berjalan beriringan.
Jika kasus-kasus pelanggaran HAM itu sudah terlampau lama untuk dikelarkan, Barita mengatakan seyogyanya Komnas HAM harus menutup penyelidikannya. Hal itu berkaitan dengan batas waktu penuntutan yang akan kadaluwarsa jika merujuk pada ketentuan KUHAP.
"Tolong bertemu mengkoordinasikan memberi petunjuk, jangan hanya petunjuk memberi redaksi berupa surat. Tapi turut terlibat memberi supervisi supaya bisa naik atau tidak bisa," kata Barita.
"Sebenarnya kalau demi kepastian hukum, kalau tidak bisa memenuhi persyaratan yang ditetapkan norma-norma hukum ya hentikan," tambahnya.