Memasuki usia 60 tahun di bawah kepemimpinan Sanitiar Burhanuddin, Kejaksaan Agung diakui sedikit membuka harapan soal penanganan kasus mega-korupsi. Namun, persoalan oknum di internal dan masalah penanganan kasus HAM berat di masa lalu masih jadi PR besar.
Diketahui, hari ini, Rabu (22/7), merupakan Hari Bhakti Adhyaksa. Kejaksaan Agung pun genap berusia 60 tahun.
Dalam pesannya menyambut HUT Kejagung ke-60 ini, Burhanuddin mengajak seluruh jajaran Adhyaksa untuk menanamkan jiwa Tri Krama Adhyaksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Rapatkan barisan dan satukan langkah untuk mengembalikan marwah kejaksaaan menjadi institusi penegak hukum yang dipercaya oleh masyarakat," ucapnya, Rabu (22/7) dikutip dari akun twitter Kejagung.
Sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 23 Oktober 2019, Burhanuddin terseret isu politik lantaran berstatus adik kandung dari politikus PDI-Perjuangan, Tubagus Hasanuddin. Meski begitu, PDIP dan Presiden Jokowi menyebut itu tak ada kaitannya sama sekali.
"ST Burhanuddin, Jaksa Agung. Beliau menjaga independensi hukum," kata Jokowi saat mengumumkan susunan Kabinet Indonesia Maju di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/10/2019).
Anggota Komisi III dari Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, juga menilai kepemimpinan Burhanuddin dapat membantu kejaksaan terus berbenah.
Di era kepemimpinan sebelumnya, Kejaksaan Agung kerap tersandung masalah kedekatan dengan partai politik yang memicu persoalan independensi dalam penenganan kasus. Selain itu, adapula kasus-kasus jaksa korup yang tertangkap KPK, kasus lama yang tak berjalan, serta persoalan pungli.
![]() |
Ketua Komisi Kejaksaan Barita Simanjuntak mengatakan cukup banyak gebrakan yang dilakukan oleh Burhanuddin, baik dari segi internal ataupun eksternal institusi.
Dari sisi eksternal, Kejaksaan Agung menggarap kasus megakorupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak Desember 2019 dan membawanya ke pengadilan. Padahal, kasus yang merugikan negara Rp16,8 triliun itu sudah terjadi sekian lama.
"Karena Jiwasraya itu kan sekian lama sudah persoalannya tapi baru naik sekarang," ungkap Barita.
Sejak Januari, penyidik mulai menetapkan sejumlah tersangka secara bertahap dan menyeretnya ke pengadilan. Mereka berasal dari pihak Jiwasraya, pihak swasta, termasuk Komisaris PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, 13 orang dari perusahaan manajer investasi (MI), dan seorang pejabat Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"[Kasus] ini termasuk sulit karena berkaitan dengan transaksi ekonomi yang cukup rumit pembuktiannya tapi bisa naik ke penyidikan dan sekarang sudah sidang," kata Barita.
Internal
Dari sisi internal, Barita menyebut ada sejumlah terobosan di Korps Adhyaksa. Pertama, pembenahan sumber daya manusia (SDM) kejaksaan. Barita menyebut itu tercermin dari wacana lelang jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi yang sempat dikatakan akan mulai berjalan 2020.
Meskipun masih wacana, Barita, menilai itu bisa menjadi awal pembenahan internal kejaksaan. Pasalnya, ada semangat untuk menyeleksi oknum-oknum Jaksa yang nakal.
![]() |
Kedua, lanjut Barita, Jaksa Agung membubarkan Tim Pengawalan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Pusat dan Daerah bentukan Jaksa Agung sebelumnya, Mohammad Prasetyo, yang kerap jadi lahan memeras kepala daerah dan bagi-bagi proyek.
Meski demikian, persoalan negatif internal Kejaksaan masih mencuat saat ini. Misalnya, pemberian tuntutan ringan oleh JPU kepada terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik KPK, Novel Baswedan.
Kala itu, tim JPU di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara memvonis dua terdakwa hanya satu tahun penjara. Padahal, banyak pihak menilai seharusnya pelaku mendapat tuntutan lebih berat, apalagi status korban yang merupakan aparat penegak hukum.
Dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (29/6), Burhanuddin mengungkapkan bahwa kasus ini menjadi bahan evaluasi pihaknya. Namun, ia mengaku tak bisa menyalahkan jaksa penuntut umum akibat tuntutan ringan itu.
Selain itu, ada dugaan pertemuan oknum jaksa dengan buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra.
Diketahui, sempat beredar video yang merekam pertemuan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, Nanang Supriatna, dengan pengacara dari buron Djoko Tjandra, Anita Kolopaking.
Atas dasar itulah, kejaksaan melakukan pemeriksaan internal. Hanya saja, setelah diperiksa dan dimintai klarifikasi beberapa kali, pihak kejaksaan enggan mengungkapkan hasil dari pemeriksaan tersebut.
"Materi itu [Alasan pertemuan tidak bisa diungkapkan]. Orang bertamu, nanti pada saatnya akan saya sampaikan pertemuannya itu apa sih," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Hari Setiyono kepada wartawan, Senin (21/7).
![]() |
Barita menilai Kejagung masih bermasalah dalam hal membuka diri dan merespons cepat dengan tak langsung bergerak melakukan pemeriksaan internal kepada jaksa-jaksa terkait.
"Tidak seperti Kapolri misalnya langsung memeriksa [oknum-oknum dalam kasus Djoko]. Itu kan kurang cepat respons dari kejaksaan memberi penjelasan ke publik," kata dia.
Padahal, kata dia, penting bagi institusi untuk dapat menjaga marwahnya dan keterbukaannya dengan merespons dengan baik kasus-kasus yang menyita perhatian publik.
"Yang diharapkan publik ini tidak sekedar pengawasannya, tapi diperiksa dan diumumkan ke publik. Sehingga publik merasa yakin kejaksaan ada peningkatan, public trust," ujar Barita menjelaskan.
Kasus HAM
Dalam sebuah rapat dengan DPR, Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut bahwa kasus Semanggi bukan merupakan pelanggaran HAM. Sontak, pernyataan ini menuai reaksi keras dari para pegiat HAM dan keluarga korban kasus tersebut.
Keluarga pun menggugat pernyataan Jaksa Agung itu ke Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) Jakarta, Selasa (12/5).
Selain kasus Semanggi, Kejaksaan Agung juga bermasalah dalam menangani kasus Paniai Berdarah. Kejaksaan diketahui sudah dua kali mengembalikan berkas dan dokumen penyelidikan kasus itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Tim Penyelidik Komnas HAM untuk Perisitiwa Paniai, Munafrizal Manan, pengembalian ini adalah bukti yang kuat bahwa Kejagung belum serius menangani kasus ini dan menjadi sinyal kuat bahwa penanganannya akan mandek.
![]() |
"Kasus-kasus tersebut telah bertahun-tahun mandek, berpotensi mengarah menjadi impunitas, dan menjadi utang keadilan bagi negara hukum kita," ujarnya.
Pihak Kejaksaan sendiri mengaku persoalan kasus HAM berat di masa lalu ini terkendala oleh kesulitan mencari bukti karena peristiwanya sudah berlangsung lama serta ada masalah kelengkapan berkas dari Komnas HAM.
(mjo/arh)